Soal :
1.
Jelaskan proses
penyebaran Siva Siddhanta dari India sampai ke Bali!
2.
Sebutkan dan jelaskan sekte-sekte
yang ada dalam Siva Siddhanta!
3.
Jelaskan kristalisasi
Siva Siddhanta di Bali!
4.
Apakah saudara beragama
hindu?
5.
Bagaimana anda
menyikapi terhadap adanya Sampradaya Krisna dan Saibaba dalam konsep Siva
Siddhanta?
Jawab :
1.
Penyebaran Siva
Siddhanta dari India sampai ke Bali :
Mazab Siva Siddhanta berawal dari
datangnya bangsa Arya dari Endo Jerman 5000 SM di hulu Sungai Sindhu yaitu di
Punjab dan sebagian ada di Iran. Di India Bangsa Arya bertemu dengan Bangsa
Dravida yang telah mengenal ajaran Siva
dengan ciri-ciri seperti bentuk Dewa Siva sehingga diidentik dengan Sivaisme
yang tinggal Timbal Nadu. Ajaran Sivasiddhanta berkembang dari agama Siva yang
sudah ada sejak zamanPra Sejarah atau Pra Veda bangsa Dravida.
Agama Siva berasal dari kaki gunung
Himalaya dan pengikutnya sangat panatik. Sebelum bangsa Arya ada, perkembangan
agama Siva sudah pesat terbukti dari arca dan penemuan berbentuk Siva, dan
bentuk dewa lainnya dan juga penikutnya (Subagiasta, 2006 : 7).
Di Indonesia Mazab Sivasiddhanta
datang pada abad ke-4 M di Kutai dibawa
oleh Rsi Agastya dari Banares India. Di Indonesia seorang Maha Rsi pengembang
sekte ini yang berasal dari pasraman Agastya Madrapradesh dikenal dengan
berbagai nama antara lain : Kumbhayoni, Hari Candana, Kalasaja, dan Trinawidu. Di
Indonesia ada juga kerajaan-kerajaan yang menganut paham Siva yang meliputi :
-
Kerajaan Kutai ditandai
dengan terdapat 7 yupa dengan huruf Sansekerta, yang menyatakan bahwa Raja
Waprekeswara ada penganut Siva
-
Kerajaan Tarumanegara
tahun 400-500 M di Jawa Barat dengan Rajanya Purnawarman, terdapat tujuh
prasasti disebut kebun kopi.
-
Kerajaan Kalingga di
Jawa Tengah tahun 618-906 M rajanya ratu Sima terdapat prasasti
bahasa sansekerta bergambar Tri Sula, yang melambangkan senjata dari Siva.
-
Kerajaan Sriwijaya
adanya perkembangan Budha Mahayana.
-
Kerajaan Mataram Kuno
rajanya Sanjaya ditandai dengan pendirian Lingga yang disebut Prasasti Canggal.
-
Kerajaan Kajuruan
dengan rajanya Dewa Sima tahun 760 mendirikan tempat pemujaan Siwa Mahaguru.
-
Kerajaan Medang Rajanya
Sendok tahun 929-947 yang memuliakan Dewa Siwa dan memuja trimurti.
-
Kerajaan Kediri tahun
1042-1222 rajanya Kameswara.
-
Kerajaan Singosari
tahun 1222-1292 rajanya Ken Arok dan yang terakhir rajanya Wisnuwardhana
mendirikan candi.
-
Kerajaan Majapahit
1293-1528 rajanya Kertarajasa Jayawardhana terakhir rajanya Wikramawardhana
masa jayanya Sivasiddhanta.
-
Kerajaan Pajajaran
rajanya Jayabhupati beraliran Waisnawa yang terakhir rajanya Prabhu Dewata
(Subagiasta, 2006 : 13).
Inilah bukti-bukti yang dapat dilihat bahwa
Sivasiddhanta telah mulai berkembang di Indonesia.
Di
Bali perkembangan Sivasiddhanta diduga mendapat pengaruh dari Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Masuknya Sivasiddhanta di Bali diperkirakan sebelum abad ke-8
Masehi, karena pada abad ke-8 telah dijumpai fragmen-fragmen prasasti yang
didapat di Pejeng berbahasa Sansekerta. Ditinjau dari segi bentuk hurufnya
diduga sejaman dengan materai tanah liat yang memuat mantra Buddha yang dikenal
dengan “Ye te mantra”, yang diperkirakan berasal dari tahun 778 Masehi. Pada
baris pertama dari dalam prasasti itu menyebutkan kata “Sivas…..ddh….” yang
oleh para ahli, terutama Dr.R. Goris menduga kata yang sudah haus itu
kemungkinan ketikan utuh berbunyi : “Siva Siddhanta”.
Dengan demikian pada abad ke-8,
Paksa (Sampradaya atau Sekte) Siva Siddhanta telah berkembang di Bali. Sampai
di tulisnya sebuah prasasti tentunya menunjukkan agama itu telah berkembang
secara meluas dan mendalam diyakini oleh raja dan rakyat pada saat itu.
Meluasnya danmendalamnya ajaran agama dianut oleh raja dan rakyat tentunya
melalui proses yang panjang, oleh karena itu Hinduisme (sekte Siwa Siddhanta)
sudah masuk secara perlahan-lahan sebelum abad ke-8 Masehi.
Bukti
lain yang merupakan awal penyebaran Siva Siddhanta di Bali adalah
ditemukannya arca Siva di pura Putra Bhatara Desa di Desa Badaulu, Gianyar.
Arca tersebut merupakan satu tipe dengan arca-arca Siva dari Candi Dieng yang
berasal dari abad ke-8 yang menurut Stutterheim tergolong berasal dari periode
seni arca hindu Bali.
Dalam
prasasti Sukawana, Bangli yang memuat angka 882 Masehi, menyebutkan ada tiga
tokoh agama yaitu : Bhiksu Sivaprajna, Bhiksu Siv Nirmala, dan Bhiksu
Sivakangsita, yang menunjukkan kemungkinan telah terjadi sinkretisme antara
Siva dan Buddha di Bali dan bila kita melihat akar perkembangannya kedua agama
tersebut sesungguhnya berasal dari pohon yang sama yakni Hinduisme (sekte Siwa
Siddhanta).
Disamping
itu secara tradisional disebutkan bahwa Agama Hindu dikembangkan oleh seorang
maharsi Markandeya. Maharsi Markandeya
datang ke Bali dengan para pengikutnya membuka lahan pertanian. Daerah yang di
tuju pada mulanya adalah daerah di kaki gunung Agung, kemudian pindah kea rah
Barat dan tiba di desa Taro (Gianyar). Beliau menanam Panca Datu (Lima Jenis
Logam) di pura Agung Besakih, yang menurut Narendra Pandit Shastri (1957),
Maharsi Markandeya ini mengajarkan Agama Siva di Bali dan mendirikan pura
Wasuki (Besukihan) yang merupakan cikal bakal perkembangan pura Besakih saat
ini. Jadi itulah proses penyebaran Siva Siddhanta dari India sampai ke Bali ( Gunawan
I Ketut Pasek, 2012 : 12).
2.
Sekte-sekte yang ada
dalam Siva Siddhanta meliputi :
a. Sekte Siwa Sidhanta
Sekte
Siwa memiliki cabang yang banyak. Antara lain Pasupata, Kalamukha, Bhairawa,
Linggayat, dan Siwa Sidhanta yang paling besar pengikutnya. Sekte Siwa Sidhanta
dipimpin oleh Maha Rsi Agastya. Kata Sidhanta berarti inti atau kesimpulan.
Jadi Siwa Sidhanta berarti kesimpulan atau inti dari ajaran Siwaisme. Siwa
Sidhanta ini mengutamakan pemujaan kehadapan Tri Purusha, yaitu Parama Siwa,
Sada Siwa, dan Siwa. Brahma, Wisnu dan dewa-dewa lainya dapat dipuja sesuai
dengan tempat dan fungsinya, karena semua dewa-dewa itu tidak lain dari
manifestasi Siwa sesuai dengan fungsinya yang berbeda-beda. Ajaran dari sekte
Siwa Sidhanta adalah Mimamsa.
b. Sekte
Pasupata
Sekte
Pasupata juga merupakan sekte pemuja
Siwa. Bedanya dengan Siwa Sidhanta tampak jelas dalam cara pemujaannya. Dalam
pemujaan sekte Pasupata dengan menggunakan Lingga sebagai symbol tempat turunya
atau berstananya Dewa Siwa. Jadi
penyembahan Lingga sebagai lambang Siwa merupakan ciri khas sekte Pasupata.
Perkembangan sekte Pasupata di Bali adalah dengan adanya pemujaan Lingga.
Dibeberapa tempat terutama pada pura yang tergolong kuno, terdaat Lingga dalam
jumlah besar.
c. Sekte
Waisnawa
Sekte
Waisnawa adalah golongan yang lebih mengutamakan pemujaan kehadapan Dewa Wisnu.
Sekte Waisnawa memuja Dewa Wisnu sebagai Dewa yang tertinggi dan utama. Dalam
Waisnawa sampradaya disamping memuja wisnu sebagai dewata utama juga sebagai
narayana. Sekte Waisnawa di bali dengan jelas
di berikan petunjuk dalam konsepsi Agama Hindu di Bali tentang pemujaan
dewi Sri. Dewi Sri dipandang sebagai pemberi rejeki, pemberi kebaahagiaan, dan
kemakmuran. Di kalangan petani, dewi sri dipandang sebagai dewanya padi yang merupakan
keperluan hidup yang utama. Bukti berkembangnya sekte waisnawa di bali yakni
dengan berkembangnya warga Rsi Bujangga.
d. Sekte
Bodha dan Sogatha
Sekte
Bodha dan Sogatha di bali di buktikan dengan adanya penemuan mantra Budha
tipeyete mantra dalam zeal meterae tanah liat yang tersimpan dalam stupika.
Stupika seperti itu banyak di ketahui di pejeng, gianyar.
e. Sekte
Brahmana
Sekte
Brahmana menurut Dr. R. Goris seluruhnya telah luluh dengan Siwa Sidhanta. Di
india sekte brahmana di sebut Smarta, tetapi sebutan Smarta tidak di kenala di
bali. Kitab-kitab Sasana, Adigama, Purwa Digama, Kutura. Mnawa yang
bersumberkan Manawa dharma sastra merupakan produk dari sekte brahmana.
f. Sekte
Rsi
Sekte
Rsi di bali, Goris eberikan uraian yang sumir dengan menunjuk kepada suatu
kenyataan, bahwa di Bali, Rsi adalah
seorang Dwijati yang bukan berasal dari Wangsa atau golongan Brahmana. Istilah
Dewarsi atau Rajarsi pada orang Hindu merupakan orang suci diantara raja-raja
dari Wangsa
g. Sekte
Sora
Sekte
Sora merupakan pemujaan terhadap Surya sebagai dewa utama. Sistem pemujaan Dewa
Matahari yang disebut Suryasewana dilakukan pada waktu mathari terbit dan
matahari terbenam manjadi ciri penganut sekte Sora. Selain itu yang lebih jelas
lagi, setiap upacara agama di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap Dewa
Surya sebagai Dewa yang memberikan persaksian bahwa seseorang telah melakukan
Yajna.
h. Sekte
Gonapatya
Sekte
Gonapatya adalah kelompok pemujaan Dewa Ganesa. Adanya sekte ini dahulu di Bali
terbukti dengan banyaknya ditemukan arca Ganesa baik dalam wujud besar maupun
kecil. Ada berbahan batu padas atau dai logam yang biasanya tersimpan di
beberapa pura. Fungsi arca Ganesa adalah sebagai Wigna, yaitu penghalang
gangguan. Oleh karena itu pada dasarnya Ganesa diletakkan pada tempat-tempat
yang dianggap bahaya, seperti di lereng gunung, lembah, laut, pada penyebrangan
sungai, dan sebagainya. Setelah zaman Gelgel, banyak patung Ganesa dipindahkan
dari tempatnya yang terpencil kedalam salah satu tempat pemujaan. Akibatnya,
patung Ganesa itu tidak lagi mendapat pemujaan secara khusus, melainkan
dianggap sama dengan patung-patung dewa lain.
i.
Sekte Bhairawa
Sekte
Bhairawa adalah sekte yang memuja Dewi Durga sebagai Dewa Utama. Pemujaan
terhadap Dewi Durga di Pura Dalem yang ada di tiap desa pakraman di Bali
merupakan pengaruh dari sekte ini. Begitu pula pemujaan terhadap Ratu Ayu
(Rangda) juga merupakan pengaruh dari sekte Bhairawa. Sekte ini menjadi satu
sekte wacamara (sekte aliran kiri) yang mendambakan kekuatan (magic) yang
bermanfaat untuk kekuasaan duniawi. Ajaran sadcakra, yaitu enam lingkungan
dalam badan dan ajaran mengenai Kundalini yang hidup dalam tubuh manusia juga
bersumber dari sekte ini. Sekte Bairawa ajarannya adalah Carwaka. ( Gunawan, I
Ketut Pasek, 2012 : 48 – 50).
3.
Kristalisasi Siwa
Siddhanta di Bali
Kristalisasi
di Bali dilakukan, karena adanya perbedaan pendapat/ pandangan dari sekte-sekte
yang ada, yang akhirnya menimbulkan pertentangan antara satu sekte dengan sekte
yang lainnya yang menyebabkan timbulnya ketegangan dan sengketa. Maka dari itu sekte-sekte
tersebut dikristalisasikan dalam bentuk :
a. Pemujaan
terhadap Tri Murti
Penyatuan sekte-sekte dapat dilakukan
dengan pemujaan terhadap Tri Murti. Dimana dalam Tri Murti Dewa yang
dipuja Dewa Brahma, Wisnu dan Siwa yang
dianggap sebagai perwujudan atau manifestasi dari Sang Hyang Widhi Wasa. Untuk
memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudannya yang masing-masing bernama :
-
Pura Desa Bale Agung
untuk memuja kemuliaan Brahma sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa
(Tuhan).
-
Pura Puseh untuk memuja
kemulian Wisnu sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa.
-
Pura Dalem untuk memuja
kemuliaan Bhatari Durga yaitu saktinya Bhatara Siwa sebagai perwujudan dari
Sang Hyang Widhi Wasa.
Ketiga pura tersebut disebut Pura
“Kahyangan Tiga” yang menjadi Lambang persatuan sekte-sekte tersebut. Mpu
Kuturan mengembangkan konsep Tri Murti dalam wujud symbol palinggih Kamulan
Rong Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, dan
pembangunan Pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu), dan Gelap
(Siwa) serta Padma Tiga di Besakih.
b. Pelaksanaan
Panca Yajna
Untuk penyatuan sekte-sekte juga
dilaksanakan melalui pelaksanaan Panca Yajna yang meliputi :
-
Pelaksanaan Dewa Yajna
yakni persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa berseta dengan semua
manifestasi-Nya, dengan pelaksanaan
upacara agama berupa piodalan di pura, persembahyangan, perayaan hari
suci agama Hindu.
-
Pelaksanaan Manusa
Yajna yakni persembahan kehadapan manusia yang dimulai sejak dalam kandungan,
yang pelaksanaannya dengan melakukan penghormatan kepada sesama manusia,
melakukan upacara agama seperti : upacara magedong-gedongan, dapetan, tutug
kambuhan, dll.
-
Pelaksanaan Pitra Yajna
yakni persembahan kehadapan para orang tua selama masih hidup maupun setelah
mati kehadapan para pitara-pitari guna mendapatkan kerahayuan hidup di dunia
ini dan di akhirat.
-
Pelaksanaan Rsi Yajna
yakni persembahan kehadapan orang suci, para Rsi yang telah berjasa dalam
pembinaan, pengembangan serta menuntun umat.
-
Pelaksanaan Bhuta Yajna
yakni persembahan kehadapan para bhuta atau makhluk bawahan.
c. Pembentukan
Sad Kahyangan
Untuk menyatukan pendapat/ pandangan
dari sekte-sekte yang ada agar tidak terjadi pertentangan, maka dibentuklah Sad
Kahyangan yang meliputi :
a.
Pura Besakih,
b.
Pura Lempuyang,
c.
Pura Goa Lawah,
d.
Pura Uluwatu,
e.
Pura Watukaru,
f.
Pura Pusering Jagat.
4.
Ya,
Seperti
yang pernah dijelaskan bahwa Agama itu artinya tidak pergi. Tidak pergi dalam
hal ini artinya orang yang telah meyakini satu kepercayaan dia tidak akan pergi
ke Agama lain. Saya sudah meyakini Agama Hindu sebagai suatu kepercayaan bagi saya dan saya tidak akan
pergi ke Agama lain. Dan saya masih ingin mendalami/mengetahui lebih banyak
mengenai Agama Hindu.
5.
Sampradaya Krisna dan
Sai Baba dalam konsep Siva Siddhanta
Sai Baba dan Sampradaya Krisna,
sebenarnya bukan ajaran agama, tetapi ajaran suatu perguruan yang dipimpin oleh
Sai Baba dan Krisna. Jadi ajaran-ajaran Sai Baba adalah ajaran-ajaran budi
pekerti yang bisa digunakan oleh semua agama di dunia. Dimana
antara Sampradaya Krisna dan Siababa sama-sama memakai Weda sebagai
sumber/patokan dari ajarannya, maka dari itu Sampradaya Krisna dan Sai Baba
tidak menyimpang dari ajaran Agama yang ada. Dan intinya sama yaitu untuk
memuja Tuhan namun cara yang digunakan berbeda. Meskipun Sampradaya Krisna
memuliakan Krisna (Wisnu) sebagai Dewa tertingginya, tetapi dia masih memuja
dewa-dewa/manifestasi Tuhan yang lainnya, begitu pula halnya Sai Baba menyembah
banyak dewa.
Peranan Sai Baba sesungguhnya
meningkatkan dan memantapkan kebenaran Weda yang bersifat Universal dan kenyal
karena sifatnya fleksibel kontekstual. Peningkatan dan memantapkan sikat umat
terhadap kebenaran Weda, Upanisad, Purana, Itihasa dan Satra lainya, bukan saja bersifat teoritis
kognitif, afektif tetapi juga bersifat konatif. Hal ini terbukti dari sikap
para Sai Bhakta pada umumnya yang telah berubah sikap mentalnya menjadi lebih
lembut, semakin pemurah, semakin akrab, semakin tenggang rasa dan lainnya(Jendra,
I Wayan : 2006 : 177).
Namun di Bali akhir-akhir ini para pengikutnya terkadang berbuat terlalu
eksklusif dan seolah-olah menyatakan dirinya sebagai sebuah sekte. Ini sudah
menyimpang dari ajaran Sai Baba itu sendiri. Demikian pula aliran-aliran yang
lain yang kini marak di Bali. Seharusnya kita tetap berpegang teguh pada ajaran
Mpu Kuturan, yakni agama Hindu-Bali. Karena jika tidak, kita akan
terumbang-ambing, tidak mempunyai pegangan yang pasti, dan terkadang
bertentangan dengan keyakinan para leluhur kita (Geogle, 19/04/12 : 16:15).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar