Sabtu, 25 Januari 2014

Jurnal


HUBUNGAN ANTARA CATUR PUSARTHA DENGAN
CATUR ASRAMA DALAM PENDIDIKAN SEKARANG


ABSTRAK

            Dalam pendidikan Hindu kita mengenal adanya Catur Asrama sebagai landasan konsepsional pendidikan Hindu Dharma dimana didalamnya menyangkut jenjang pendidikan seumur hidup, dari tingkat anak-anak sampai menjelang mati. Jadi Catur Asrama di samping merupakan konsepsi hidup untuk mewujudkan tujuan hidup (Catur Purusartha), Catur Asrama  juga sebagai landasan konsepsional dari pendidikan Hindu. Sebagaimana telah dijelaskan, Catur Asrama itu adalah suatu upaya atau usaha seseorang sesuai dengan tingkatan hidupnya. Masing-masing asrama memiliki swadharmanya sendiri-sendiri. Tiap asrama atau tingkatan hidup akan dapat berhasil dengan baik apabila ditunjang oleh ilmu pengetahuan, kecakapan, keterampilan dan sikap yang benar dan tepat yang relevan dengan masing-masing asrama (Asrama Dharma).
            Catur Asrama berasal dari kata “catur” dan asramaCatur berarti empat dan Asrama berarti tahap kehidupan, tingkat atau jenjang kehidupan seseorag atau tempat bertapa (pertapaan).Dengan demikian catur asrama dapat diartikan sebagai empat jenjang kehidupan masyarakat. Tahap, tingkat atau jenjang kehidupan ini dihubungkan dengan umur, tingkat lmu pengetahuan suci, tingkat spiritualitas atau rohani, sifat dan perilaku atau moralitas seseorang (Suhardana,2007:143).
            Brahmacari Asrama yaitu suatu masa kehidupan berguru untuk mendapatkan ilmu pengetahuan Weda.Weda mengajarkan ilmu pengetahuan untuk memperoleh kebahagian, material (Jagadhita) dan juga mengajarkan tentang tujuan hidup kerohanian/Moksha (Wiana, 1997: 54). Pada zaman sekarang fase hidup dalam mencari pengetahuan ini disebuat masa belajar, yaitu dari sekitar umur 6 tahun sampai dengan sekitar 18 tahun (Pidarta, 1999:127) .
            Grahasta artinya hidup berumah tangga, bersuami istri. Pada masa kehidup-an Grhasta tujuan hidup diprioritaskan untuk mendapatkan Artha dan memenuhi Kama, oleh karena itu, suatu rumah tangga belum dapat dilaksanakan kalau belum siap dengan sumber Artha berupa pekerjaan yang tetap yang memberi hasil yang memadai untuk menjalankan rumah tangga. Demikian pula dengan Kama yang menyangkut dorongan hidup seperti nafsu haus, lapar dan seks. Tiga dorongan hidup itu harus dipenuhi dengan berlandaskan Dharma.
            Dalam masa kehidupan Wanaprstha dan Sanyasa (Bhiksuka) tujuan utama dari kehidupan seseorang adalah untuk mencapai kebebasan rohani yang disebut Moksha. Kehidupan Wanaprstha merupakan persiapan awal untuk menuju moksha yaitu dengan mewariskan nilai-nilai yang positif untuk grhastin-grhastin penerus, disamping itu mempersiapkan hal-hal  yang mendasar untuk menghadapi masa akhir dari hidup ini dengan harapan mendapatkan moksha. tahapan Wanaprastha adalah masa menjauhkan diri dari kehidupan duniawi. Sedangkan masa Sanyasa sudah berusaha melepaskan diri sama sekali dari kehidupan duniawi
           


CATUR ASRAMA DALAM PENDIDIKAN SEKARANG
(Oleh : Kelompok V)

I.       PENDAHULUAN
Pendidikan adalah proses pembelajaran dari yang tidak tahu menjadi tahu, proses pendidikan melalui beberapa tahapan yang sangat penting. Pendidikan Hindu adalah media yang sistematis dari penerapan ajaran Hindu.Sebelum kita langsung menajamkan pembahasan mengenai landasan konsepsional tentang pendidikan Hindu ada baiknyakita mengambil suatu perbandingan dengan menyetir beberapa pandangan para ahli pendidikan modern terutama mengenai fungsi dan tahap-tahap, pendidikan itu sendiri. Menurut C. Panunzio ada beberapa fungsi pendidikan:
1.      Memindahkan ilmu pengetahuan demi mencerdaskan masyarakat, dengan tujuan untuk mempertahankan dan memajukan masyarakat itu sendiri.
2.      Membiasakan memindahkan ilmu pengetahuan itu termasuk pula kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dengan mejadikan anak didik itu berguna dalam mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan dan pertumbuhan sikap, wibawa dalam memajukan masyarakat.
3.      Memasyarakatkan/ mensosialisasikan anak didik untuk menjadikan mereka tenaga-tenaga yang berguna dalam memelihara dan menumbuhkan masyarakat, untuk tujuan-tujuan sosial.
Prof Soeganda Poerbakawaca dalam bukunya Ensiklopedia Pendidikan menjelaskan pengertian pendidikan dalam arti yang luas, juga dijelaskan adanya pendidikan rendah, pendidikan menengah, pendidikan kejuruan, pendidikan tinggi, pendidikan agama, pendidikan jasmani, pendidikan luar biasa (tuna rungu dan tuna netra), pendidikan orang dewasa dan pendidikan wanita.
Dengan mencantumkan pendapat-pendapat tersebut diatas, kita akan mendapatkan suatu gambaran bahwa dalam konsepsi pendidikan Hindu kita telah mengenal adanya sistem-sistem yang amat mendasar dalam menumbuhkan pengetahuan yang terdapat di dalamnya. Dalam pendidikan Hindu kita mengenal adanya Catur Asrama sebagai landasan konsepsional pendidikan Hindu Dharma dimana didalamnya menyangkut jenjang pendidikan seumur hidup, dari tingkat anak-anak sampai menjelang mati. Jadi Catur Asrama di samping merupakan konsepsi hidup untuk mewujudkan tujuan hidup (Catur Purusartha), Catur Asrama  juga sebagai landasan konsepsional dari pendidikan Hindu. Sebagaimana telah dijelaskan, Catur Asrama itu adalah suatu upaya atau usaha seseorang sesuai dengan tingkatan hidupnya. Masing-masing asrama memiliki swadharmanya sendiri-sendiri. Tiap asrama atau tingkatan hidup akan dapat berhasil dengan baik apabila ditunjang oleh ilmu pengetahuan, kecakapan, keterampilan dan sikap yang benar dan tepat yang relevan dengan masing-masing asrama (Asrama Dharma).
Dari pengertian ini Catur Asrama juga merupakan landasan, konsepsi pendidikan Hindu yang seumur hidup. selama hidup manusia di dunia ini, tidak dapat dilepaskan dengan upaya mencari ilmu pengetahuan agar setiap tingkatan hidup itu dapat dilalui dengan baik dan sukses.
Hal ini diperkuat lagi dengan pengertian “Brahmacari” yang amat luas sebagaimana diuraikan dalam Agastya parwa, Slokantara, Wrtisesana dan lain-lain. Brahmacari dalam pengertian yang lebih luas yaitu mengabhayasa Sang Hyang Sastra, Sastrantara dan Sastrajna. Brahmacari menjadi dasar daripada setiap Asrama, baik Grhastra, Wanaprastha maupun Bhiksuka. Tidak ada tingkatan hidup (asrama) ditempuh dengan sebaik-baiknya tanpa didasarkan pada ilmu pengetahuan yang menjelma menjadi kecakapan, keterampilan dan sikap yang baik dan tepat.
Cuma perlu diperhatikan bahwa tiap-tiap Asrama (tingkatan hidup) membutuhkan ilmu, kecakapan, keterampilan dan sikap hidup yang berbeda-beda sesuai dengan tuntutan Asrama masing-masing. Dalam kakawin Nitisastra V dijelaskan bidang-bidang  pengetahuan yang harus dipelajari setiap tingkatan hidup. Adapun penjelasan Nitisastra adalah sebagai berikut:
Taki-takining sewaka guna widya
Smara wisayaruang puluhing ayusa
Tengahi tuwuh san wacana gegonta
Patilaring atmeng tanupagurokan
Artinya:
Usahakanlah dengan tekun megabdi pada ilmu pengetahuan yang utama. Berumah tangga setelah dua puluh tahun. Setelah setengah umur berpeganglah pada ucapan (ajaran) yang baik. Setelah itu melepaskan Sang Hyang Atmalah yang dipelajari.
            Arti dan makna ayang tersirat dalam Kakawi Nitisastra tersebut, jelas sekali merupakan penggambaran tentang pendidikan seumur hidup, bahkan sampai menjelang matipun kita harus belajar terus, terutama melepaskan Sang Hyang Atma dari badan wadag, agar kepergian kita ke alam baka menjadiselamat. Brahmacari dalam arti yang luas, yang menjadi dasar asrama-asrama yang lainnya, dalam perwujudannya melahirkan dua fungsi utama yang saling terkait. Dua fungsi itu dalam kegiatan brahmacari adalah fungsi memberi ilmu dan menerima ilmu. Brahmacari yang bergerak dalam lapangan ilmu pengetahuan berarti ada yang bergerak sebagai pemberi ilmu yang disebut guru atau acraya dan penerima ilmu yang disebut sisya (murid).
Sistem pendidikan berdasarkan Brahmacari lebih mengutamakan pendidikan kejiwaan atau pendidikan watak atau pribadi para siswa disamping sebagai ilmu pengetahuan (Sastrantara) dan pengetahuan tentang kitab suci Weda, Brahmacari membentuk pribadi mulia dan mempergunakan dharma sebagai pedoman hidupnya. Oleh karena itu Brahmacari adalah benih utama untuk mencapai tingkatan Grhasta, Wanaprastha, Sanyasa (Bhiksuka) (Wiana, 1997 : 61-64).


II.    PEMBAHASAN
2.1  Pengertian dan Bagian-bagian Catur Asrama
2.1.1 Pengertian Catur Asrama
            Untuk mewujudkan cita-cita Hindu Dharma mencapai Jagathita dan Moksa, maka setiap umat Hindu diajarkan untuk mencapai empat tujuan hidup. Empat tujuan hidup itu disebut Catur Purusartha yaitu Dharma, Artha, Kama dan Moksa.
            Catur Asrama berasal dari kata “catur” dan asrama” Catur berarti empat dan Asrama berarti tahap kehidupan, tingkat atau jenjang kehidupan seseorag atau tempat bertapa (pertapaan).Dengan demikian catur asrama dapat diartikan sebagai empat jenjang kehidupan masyarakat. Tahap, tingkat atau jenjang kehidupan ini dihubungkan dengan umur, tingkat lmu pengetahuan suci, tingkat spiritualitas atau rohani, sifat dan perilaku atau moralitas seseorang (Suhardana,2007:143).
            Empat tujuan hidup ini hanya dapat dicapai melalui tahapan-tahapan hidup sesuai dengan pertumbuhan manusia itu sendiri. Tahapan-tahapan itu disebut Catur Asrama. Catur Asrama ini adalah konsep dasar untuk mencapai umpet tujuan hidup itu. Sebagai konsep hidup, Catur Asrama juga menjadi landsan konsepsional penerapan Hindu dharma. Karena penerapan Hindu Dharma bertujuan untuk mewujudkan tujuan hidup manusia pula.
            Menurut Wiana (1997:53-66) Catur Asrama berasal dari kata catur yang artinya empat dan asrama yang artinya “usaha seseorang”. Yang dimaksud dengan usaha seseorang dalam pengertian Catur Asrama adalah usaha yang mutlak harus dilakukan oleh seseorang pada tiap-tiap asrama.
            Bentuk dan jenis usaha hidup yang harus dilakukan pada masing-masing asrama sangat berbeda-beda sesuai dengan unsur Catur Purusartha yang ingn dicapai pada tiap-tiap asrama. Tiap-tiap Catur Purusartha wajib diwujudkan pada tahap-tahap asrama. Karena itu penerapan Hindu Dharma harus menunjang terwujudnya tiap-tiap unsur dari Catur Purusartha.

2.1.2 Bagian-bagian Catur Asrama
Sesuai dengan namanya catur asrama atau empat jenjang kehidupan masyarakat terdiri atas empat tahapan. Menurut Ni Wayan Suratmini, (2002: 1) dan Puniatnadja (1994: 10) Catur Asrama itu dapat dibagi seperti dibawah ini.
Ni Wayan Suratmini menjelaskan apa yang tercantum dalam Sloka Silakrama sebagai berikut:
Catur Asrama ngarannya Brahmacari
Grahasta, Wanaprastha, Bhiksuka
Nahan tang Catur Asrama ngarannya.

Artinya:
Yang bernama Catur Asrama adalah Brahmacari,Grahastha, Wanaprastha dan Bhiksuka.
Sementara itu  Puniatmadja, Catur Asrama dalam terjemahan Sloka Silakrama adalah sebagai berikut:Yang dinamakan Catur Asrama adalah Brahmacari, Grhasta, Wanaprastha, Bhiksuka. Demikianlah yag disebut Catur Asrama (Suhardana,2007:144)
1.      Brahmacari Asrama.
Brahmancari berasal dari dua urat kata yaitu Brahma artinya pengetahuan dan acaranya artinya mencari. Jadi Brahmacari yaitu mencari pengetahuan (Pidarta, 1999 : 127).Brahmacari berasal dari 2 kata , brahma dan cari . Brahma artinya ilmu pengetahuan suci dan Cari ( car ) yang artinya bergerak. Jadr brahmacari artinya bergerak di dalam kehidupan menuntut ilmu pengetahuan ( masa menuntut ilmu pengetahuan )(http://supeksa.wordpress.com/2011/02/26/catur-asrama-dalam-agama-hindu/, 02/12/2013, 12:05).Brahmacari Asrama yaitu suatu masa kehidupan berguru untuk mendapatkan ilmu pengetahuan Weda. Weda mengajarkan ilmu pengetahuan untuk memperoleh kebahagian, material (Jagadhita) dan juga mengajarkan tentang tujuan hidup kerohanian/Moksha (Wiana, 1997: 54).Pada zaman sekarang fase hidup dalam mencari pengetahuan ini disebuat masa belajar, yaitu dari sekitar umur 6 tahun sampai dengan sekitar 18 tahun (Pidarta, 1999:127) .
Brahmacaryena tapasa, raja rastram vi raksati, acaryo brahmacaryena, brahmacarinam icchate (XI.5.17). Sa dadhara prthivim divam ca (XI.5.1). Tasmin devah sammanaso bha vanti (XI.5.1).

Artinya :
Seorang pemimpin dengan mengutamakan brahmacari dapat melindungi rakyatnya, dan seorang guru yang melaksanakan brahmacari menjadikan siswanya orang yang sempurna; Seseorang yang melaksanka brahmacari akan menjadi penopang kekuatan dunia; Tuhan (Hyang Widhi) bersemayam pada diri seorang brahmacari (http://www.hindubatam.com/catur-asrama.html, 02/12/2013, 12:24).
Dalam masa kehidupan Brahmacari ini yang paling diutamakan atau yang diprioritaskan  adalah Dharma, Artha, Kama dan moksha. Sedangkan Moksa belum menjadi pusat perhatian. Masa kehidupan Brahmacari diutamakan untuk mengatahui kewajiban, kebenaran dan kebajikan yang kesemuanya itu disebut dharma. Tatwa Dyatmika adalah ilmu pengetahuan tentang rahasia spiritual untuk meningkatkan kedewasaan rohani dalam menghadapi perjalanan hidup ini. Sedangkan Guna Widya adalah ilmu pengetahuan yang dapat dipakai untuk memperoleh berbagai keterampilan untuk mendapatkan pekerjaan dalam memelihara dan meningkatkan mutu hidup ini.
Tattwa Adyamika adalah berfungsi untuk mengembangkan sifat-sifat baik untuk membangun watak dan karakter yang luhur. Sedangkan Guna Widya berfungsi untuk mengembangkan bakat-bakat pembawaan untuk menjadi keterampilan yang profesioanal. Orang yang profesional serta memiliki watak yang luhur merupakan sumber daya manusia yang diharapkan oleh zaman yang semakin maju
Dalam naskah berbahasa jawa kuna yang bernama Agastia Parwa kita mendapatkan keterangan tentang Brahmacari yang lebih lengkap sebagai berikut:.....Brahmacari ngaranya sang sedeng mangapbyasa Sang Hyang sastra, muang Sang Wruh ring tingkahing Sang Hyang Aksara samangkana kramnya sang Brahmacari Ngaranya.
Kunag sang sinangguh Brahmacari ring loka ikang tang sanggraheng wyasa istryadi, yeke Brahmacari ring loka. Kunag paraning atma pradisa sang ksepania, sang Yogiswara sira brahmacari ring sastrantara ring sastrajna.

Artinya:
   Brahmacari namanya orang yang sedang mempelajari ilmu pengetahuan (sastra) dan yang mengetahui ilmu huruf (aksara), orang yang demikian pekerjaannya disebut Brahmacari.
Adapu yang dianggap brahmacari didalam masyarakat adalah orang yang tidak terikat nafsu keduniawian, tidak beristri. Sedangkan Brahmacari Caranam artinya menuntut ilmu pengetahuan kerohanian (Atma Pradesa). Sang Yogiswara, Beliau brahmacari diberbagai ilmu (Sastrantara) dan didalam kebijaksanaan (Sastrajna).
Jadi berdasarkan isi Agastya Parwa ini, yang dimaksud brahmacari amat luas pengertiannya, yang dapat dirinci sebagai berikut:
1)      Orang yang belajar ilmu pengetahuan dan ilmu tentang hidup.
2)      Orang yang lepas dari nafsu keduniawian seperti tidak beristri disebut Brahmacari ring Loka.
3)      Orang yang menuntut ilmu pengetahuan kerohanian disebut dengan nama Brahmacari caranam.
4)      Sang Hyang Yogiswara yang ahli dalam ilmu pengetahuan (Sastrantara) dan ilmu pengetahuan kebijaksanaan (Sastrajna) disebut juga Brahmacari.
Didalam penjelasan sloka pertama dari naskah Slokantara disebutkan adanya tiga macam brahmacari yanitu
1)      Sukla Brahmacari: orang yang tidak kawin seumur hidupnya bukan karena cacat badan seperti wangdu, bahkan ia tidak pernah mambicarakan tentang perkawinan sampai dihari tuanya.
2)      Sewala Brahmacari: orang yang kawin hanya sekali saja sekalipun ditinggal mati oleh istrinya.
3)      Krsna Brahmacari: orang yang kawin lebih dari sekali dan paling banyak empat kali.
Prof. Dr. Y. Gonda dalam bukunya Sanskrit in Indonesia, membagi brahmacari itu menjadi empat yaitu, Sukla Brahmacari, Trsna Brahmacari, Sewala Brahmacari dan Grhasta Brahmacari. Gonda tidak menggunakan Krsna Brahmacari tetapi Trsna yang artinya cinta terus menerus walaupun istrinya telah meninggal. Sedangkan Grhasta Brahmacari adalah orang yang tidak menjauhkan dirinya dengan seks dalam perkawinan.
Dalam lontar WrtiSesana pembagian Brahmacari sama dengan Slokantara Cuma sedikit ada perbedaan pengertian  Sewala Brahmacari dan Trsna Brahmacari. Dalam lontar Wrtisesana yang dimaksud dengan Sewala Brahmacari adalah tidak kawin selama menuntut ilmu. Akan tetapi setelah masa berumah tangga tiba, maka ia kawin dengan maksud mendapatkan keturunan dan juga ia tahu tentang puja-puja senggama, tentang waktu dan tempat untuk itu dan mengetahui pula siapa-siapa yang patut dikawini untuk mendapatkan keturunan yang baik.
Dari penjelasan beberapa naskah diatas, meskipun ada perbedaan penjelasan, namun hakikat Brahmacari itu dalah suatu usaha untuk mendapatkan ilmu pengetahuan suci untuk melanjutkan hidup termasuk dalam melanjutkan perkawinan. Ini berarti sungguh sulit mendapatkan kebahagian hidup berumah tangga tanpa ditopang oleh ilmu pengetahuan yang memadai (Wiana,1997).
2.      Grhasta Asrama
Grahasta artinya hidup berumah tangga, bersuami istri. Pada masa kehidup-an Grhasta tujuan hidup diprioritaskan untuk mendapatkan Artha dan memenuhi Kama, oleh karena itu, suatu rumah tangga belum dapat dilaksanakan kalau belum siap dengan sumber Artha berupa pekerjaan yang tetap yang memberi hasil yang memadai untuk menjalankan rumah tangga. Demikian pula dengan Kama yang menyangkut dorongan hidup seperti nafsu haus, lapar dan seks. Tiga dorongan hidup itu harus dipenuhi dengan berlandaskan Dharma.
Kama adalah salah satu media untuk mendapatkan kebahagiaan dan jangan samapai Kama itu memperalat manusia (sang diri). Sang diri harus mampu membatasi Kama. Manusia tanpa Kama tidak dapat menikmati kebahagiaan sejati dari hidup didunia ini. Akan tetapi Kama tanpa batas dan kendali, maka keindahan dunia ini akan berbalik menjadi sumber kehancuran. Demikianlah hidup dalam Grhasta Asrama, harus berlandaskan Dharma. Grhasta tanpa berlandaskan Dharma akan mengakibatkan Artha dan Kama yang merupakan prioritas utama dalam Grhasta menjadi sumber kehancuran Grhasta itu sendiri.
Didalam Agstya Parwa dijelaskan tentang Grhasta Asrama sebagai berikut: .....grhasta ta sira mastri pwa sira, mana-madrewya hulun, ityewawadi, mangunaken kayekadharma yathasakti....

Artinya:
Grhasta-lah beliau, beristilah beliau, mempunyai anak, memiliki abdi, memupuk kebajikan yang berhubungan dengan pembinaan diri pribadi (kayikadharma) dengan kekuatan yang ada padanya (yathasakti).
3.      Wanaprhastha dan Sanyasa
Dalam masa kehidupan Wanaprstha dan Sanyasa (Bhiksuka) tujuan utama dari kehidupan seseorang adalah untuk mencapai kebebasan rohani yang disebut Moksha. Kehidupan Wanaprstha merupakan persiapan awal untuk menuju moksha yaitu dengan mewariskan nilai-nilai yang positif untuk grhastin-grhastin penerus, disamping itu mempersiapkan hal-hal  yang mendasar untuk menghadapi masa akhir dari hidup ini dengan harapan mendapatkan moksha. tahapan Wanaprastha adalah masa menjauhkan diri dari kehidupan duniawi. Sedangkan masa Sanyasa sudah berusaha melepaskan diri sama sekali dari kehidupan duniawi.
Pada tahapan Wanaprstha, usaha hidup yang paling utama adalah melepaskan diri secara bertahap dari nafsu duniawi, sedangkan pada tahap Sanyasa disamping melepaskan diri dari ikatan badan, karena fungsi badan perlahan-lahan akan semakin berkurang dan bagaimanapun kita harus ikhlaskan untuk melepaskan. Oleh karena itu pada masa Sanyasa asrama orang tidak akan dapat memperoleh kesenangan hidup melalui alat-alat tubuhnya. Oleh karena fungsi alat-alat tubuh sudah sangat jauh dari yang diharapkan maka, harapan untuk mendapatkan kenikmatan hidup duniawi sudah tidak mungkin. Kenyataan inilah yang mengharuskan masa Sanyasa Asrama melepaskan masalah Artha dan Kama. Harapan satu-satunya hanya bisa ditunjukkan pada dunia spiritual. Pada masa Sanyasa Asrama inilah puncak keikhlasan harus diberikan prioritas utama. Sat-saat mengakhiri hidup di dunia ini, setiap orang harus sudah mantap dalam keiklhasan untuk melepaskan diri dari segala ikatan-ikatan dunia. Kalau hal itu belum terwujud, daapt dipastikan orang akan digeluti oleh rasa takut dan gelisah untuk melepaskan dunia ini.
Dalam Agyastya Parwa dijelaskan tentang Wanaprastha dan Bhiksuka sebagai berikut: ......wanaprastha ta sira, mur saking grama mwang, mungwing suci desa, makadi wukir. Magawe patapan, sthananira gumawayaken panca karma mwang malwangi wisaya mwang mangdesanaken dharma, huwus pwa sira wanaprastha, bhiksuka ta sira, mur saking patapan ira, nisparigraha, tan pangaku patapan, tan pangaku sisya, tan pangaku panhruh padaya tiningglaken ira.


Artinya:
Wanaprastha-lah beliau, pergi dari desa dan menetap ditempat yang bersih suci terutama di gunung, mendirikan pertapaan sebagai tempatnya melakukan Panca Karma dan mengurangi nafsu kedunia-wian serta mengajarkan ajaran kerohanian. Setalah beliau melakukan Wanaprastha, Bhiksuka-lah beliau, pergi dari pertapaannya, tidak terikat, tidak mengaku memiliki pertapaan, tidak merasa punya murid, tidak merasa berpengetahuan, semua itu ditinggalkan oleh beliau.
Demikian lah Catur Asrama merupakan empat tingkatan hidup yang bersifat formal dan tidak kaku dalam penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini hubungan antara Catur Purusartha, dengan Catur Asrama amat erat. Catur Purusartha atau Catur Warga adalah empat tujuan hidup yang terjalin erat dan saling tunjang menunjang dengan yang lainnya, tak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Dharma adalah dasar untuk mendapatkan Artha, Kama dan Moksha. Tetapi sebaliknya, tanpa artha, kama dan moksha, dharma-pun tidak dapat dijalankan dengan sempurna. Tidak ada Swadharma (kewajiban) atau kebenaran yang dapat dilaksanakan dengan sempurna tanpa artha dan kama. Misalnya menuntut ilmu ataupun berdana punia adalah perbuatan dharma tetapi kesemuanya itu baru dapat dilakukan kelau ada artha dan kama (keinginan dan semangat). Demikian pula moksa berasal dari bahasa sansekerta dari uarat kata “ mucch” artinya bebas tanpa ikatan. Kebebasan tersebut adalah merupakan kenyataan yang setiap saat diperjuangkan oleh manusia. Untuk mendapatkan kebebasan yang paling ideal, membutuhkan perjuangan yang sungguh-sungguh dan bertahap.
Misalnya seorang murid atau siswa kelas satu. Pertama-tama yang harus diperjuangkan adalah untuk mendaptkan kebebasan dari semua ikatan pendidikan yang berlaku di kels satu. Kalau ia berhasil menaati semua ikatan itu iapun akan bebas dan naik tingakat ke kelas dua. Demikian pula di kelas berikutnya, meruka pun berjuang untuk menaati segala ikatan berupa kewajiban-kewajiaban edukatif dan kalau ia berhasil iapun akan lepas dari ikatan kewajiban di kelas dua dan dapat meningkatkan untuk duduk di kelas tiga. Demikianlah seterusnya sampai ia tamat dan mencapai puncak cita-citanya sebagai seorang murid. Demikian pula moksha, di mana dan kapanpun selalu diikat oleh kewajiban-kewajiban hidupnya. Kewajiban itu adalah merupakan ikatan suci yang kalau dapat ditaati akan dapat memberikan kebebasan bertahap kepada pelaku-pelakunya.
Seorang kepala rumah tangga atau Grhasta yang baik tentunya memiliki perencanaan dalam memimpin rumahtangganya. Itu wajib ia lakukan dengan penuh keyakinan dan kesungguhan. Kewajiban Grhasta merupakan ikatan suci (dharma). Kalau ia dapat berhasil melaksnakan kewajibannya iti, ia dapat berhasil mendapatkan rasa bebas dari ikatan. Misalnya kewajiban untuk menyekolahkan putra-putrinya. Ini adalah suatu ikatan namun suci nilainya. Kalau ia taat dan berhasil menyekolahkan putra-putrinya itu, seorang Grhastapun akan mendapatkan suatu rasa bebas dari ikatan.
Demikianlah moksa atau kebebasan  dari ikatan merupakan kenyataan hidup yang harus diperjuangkan secara bertahap, pasti dan penuh keyakinan. Kalau ikatan demi ikatan dalam hidup ini  dapat dilepaskan satu demi satu secara bertahap, maka kebebasan yang paling ideal berupa moksa akan dapat dicapai.
Yang perlu diingat disini adalah kebebasanhanya akan dapat dicapai melalui keterikatan. Seorang siswa baru dapat mencapai kebebasan sebagai seorang siswa apabila ia dengan taat melakukan ikatan-ikatan berupa kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan bagi seorang siswa. Kalau ia dari awal sudah mulai bebas, tidak menaati semua ikatan berupa kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan, maka ia pun tidak akan pernah menikmati kebebasan sebagai siswa. Jadi kebebasan itu merupakan suatu kebutuhan nyata bagi manusia, untuk diraih secara bertahap sehingga mencapai puncaknya dan inilah kebebasan yang ideal yang disebutkan moksa. Karena orang tidak akan pernah mencapai puncak kebebasan yang ideal itu dengan melepaskan dirinya dari kewajiban-kewajiban hidupnya. Inilah hubungan yang terjalin antara dharma dan moksha.
Kalau Catur Purusartha atau Catur Warga merupakan tujuan hidup setiap umat Hindu, maka Catur Asrama adalak konsep hidup untuk mencapai tujuan hidup. Jadi Catur Pusartha dan Catur Asrama ini adalah landasan konsepsional dari hubungan sosiolaogis antara manusia dengan manusia dengan kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya mengantarkan manusia mewujudkan masyarakat yang sejahtera fisik material (jagadhita) dan sejahtera moral spiritual (moksha).

2.2  Catur Asrama dalam Pendidikan Sekarang
1.      Brahmacari
Pada jaman sekarang batas Brahmacari lebih luas dari zaman dahulu.Kalau daluhu hanya terbatas kepada anak-anak dan para remaja yang belum waktunya menikah, maka pada zaman sekarang tidak ada pembatasan umur atau waktu untuk belajar.Di perguan tinggi orang-orang boleh belajar sambil berkeluarga.Malah menurut sestem pendidikan seumur hidup atau berkelanjutan, balajar itu tidak ada batasnya. Orang boleh belajar sampai tua, bercucu dan bercicit asal masih ada minat (Pidarta, 1997 :129).
2.      Grhasta
Grhasta adalah masa berumah tangga dimana pada jaman dahulu orang yang berumah tangga apabila ia telah selesai melalui tahapan Brahmacari yaitu masa menuntut ilmu pengetahuan yang akan berguna dalam ia memenuhi Artha dan Kama, tetapi jaman sekarang tidaklah sama dengan masa Grhasta pada jaman dahulu, karena banyak remaja yang mengalami masa Grhasta pada masa Brahmacari.
3.      Wanaprasta
Kewajiban melaksanakan wanaprasta diutamakan bagi mereka yang sudah relatif bebas dari tanggung jawab keluarga, agar tidak mengganggu pertapaanya.Yang dimaksud bertapa bukanlah duduk termenung dari hari ke hari dan dari bulan ke bulan tidak bangun bangun melainkan mengekang diri, melepaskan diri dari keduniawian.
Pada jaman dahulu orang bertapa di gunung dan di bukit.Pada jaman sekarang hampir  semua wilayah digunung atau di bukit adalah milik orang, sehingga tidak mudah bagi orang lain untuk menempatinya.Salah satu jalan keluar dari kesulitan ini adalah bertapa di rumah, baik di desa maupun di kota yaitu dirumah kediaman sendiri.
Bila wanaprasta berarti menjauhi keduniawian, berarti tidak harus di gunung melainkan dimana saja boleh.Sebab yang menjauhi keduniawian adalah hati kita, bukan lingkungan tempat tinggal kita.Begitu pula halnya dengan bertapa adalah hati kita, bukan lingkungan.Kalau hati kita bisa menutup diri dari keramaian lingkungan, maka bertapa di rumah tidak menjadi masalah. Cudamani (1992) menulis : bila daya tarik dunia telah ditundukkan, maka tempat meditasi tidak menjadi masalah. Jadi dimanapun kita diperbolehkan bertapa tidak harus pergi ke gunung.
Ada beberapa keuntungan melakukan tapa dan menditasi di rumah.Sebagai orang tua, kita masih bisa mengamati dan membina keluarga.Tidak perlu repot-repot memindahkan dapur dan mencari tempat baru. Nyamuk tidak akan mengganggu ketika melakukan meditasi, sebab rumah sudah biasa bebas dari nyamuk. Dan kita tetap bisa bekerja walaupun menjalani wanaprasta.Itulah keuntungan-keuntungan melakukan tapa di rumah sendiri.Karena itu asal ada kemauan, melaksanakan kewajiban melakukan wanaprasta tidak merupakan suatu masalah.Mungkin terasa aneh kalau ada orang bertapa sambil bekerja.
Secara umum memang batas Grehasta dengan wanaprasta adalah saat berakhirnya tanggung jawab bersama keluarga.Namun wanaprasta bisa dipercepat manakala orang sudah siap meniggalkan keramaian dunia.Tidak ada lagi benda-benda dunia yang menarik hatinya.Bekerja dan tanggung jawab terhadap keluarga, tidaklah berarti tertari pada benda-benda dunia.Karena dia bekerja dengan prinsip karma yoga, yaitu bekerja demi pekerjaan itu berhasil dengan baik, tidak mengejar keuntungan apapun.Juga dia bertanggung jawab kepada keluarga secara manusa yadnya, tidak ada maksud kebendaan apapun, hanya didasari oleh kasih terhadap anak-anak yang harus berkembang dengan sempurna.Jadi melakukan tapa semasih bekerja dan bertanggung jawab terhadap keluarga tidak dilarang selama orang bersangkutan sudah siap.
Bila kita menunggu menjalani wanaprasta sesuai dengan aturan umum, maka ditakutkan akan ketinggalan waktu, sebab pertapaan sampai mencapai moksa cukup panjang memakan waktu yang bertahun-tahun lamanya. Hal-hal yang mungkin membuat kita ketinggalan waktu adalah, kita sudah tua tetapi anak-anak belum semua menikah, ada perbedaan umur yang besar antara suami dan istri sehingga yang satu sudah tua dan yang lain masih muda, da nada orang yang pension pada umum 65 tahun bahkan ada yang pada umur 70 tahun. Kemungkinan halangan-halangan ini harus ditembuh melalui kebulatan tekad kita untuk memasuki pase wanaprasta mendahului aturan umum (Pidarta, 1997 :131).
4.      Sanyasa (Bhiksuka)
Catur asrama yang terakhir adalah Sanyasa (Bhiksuka).Bagian Catur Asrama yang terakhir ini mungkin masih berlaku mungkin tidak.Hal itu bergantung pada kesadaran masyarakat serta homoginitas agama yang dipeluk masyarakat bila orang suci ini berada pada lingkungan masyarakat hindu yang memiliki kesadaran tinggi terhadapa agama mungkin hal tersebut di atas akan berlaku. Sebaliknya bila orang suci ini berada pada masyarakat heterogen dengan penganut hindu sedikit, apalagi kesadaran mereka rendah akan agama, hal di atas sangat sulit untuk dilaksanakan.
Masalah yang muncul disini adalah bagaimana membuat masyarakat hindu siap menanggung kehidupan orang suci, sementara masyarakat itu sendiri masih berjuang keras untuk mempertahankan kehidupan keluarganya. Masalah yang kedua adalah apakah layak orang hidup pada jaman sekarang tanpa tempat tinggal, apakah tidak akan dilecehkan serta dipandang sebagai pengemis.
Mengenai kesadaran masyarakat sekarang untuk menghidupi orang suci, orang yang sudah duduk dalam tingkat sanyasa  dapat dibina secara perlahan-lahan. Tetapi mereka tidak dapat dipaksa manakala kondisi ekonomi mereka sangat rendah. Oleh sebab itu walaupun kesadaran masyarakat dapat ditingkatkan, namun tidak menjamin bahwa mereka akan menghidupi orang suci.
Mengenai tidak punya tempat tinggal dan hidup seperti orang meminta-minta, tidaklah pantas bagi orang suci hidup seperti itu dijaman modern sekarang.Beliau perlu dibuatkan tempat tinggal.Untuk masyarakat yang kaya hal ini tidak menjadi masalah.Tetapi bagaimana halnya dengan masyarakat yang miskin tentu tidak sanggup membuatkan.
Oleh sebab itu cara hidup para sanyasin pada jaman dahulu tidak cocok diterapkan pada jaman sekarang. Cara hidup itu perlu dimodifikasi, dengan tidak mengubah fungsi dan kesuciannya. Sanyasin pada jaman sekarang tidak perlu mengembara, ia dapat hidup pada tempat tinggal tertentu. Dari tempat tinggal inilah ia melaksanakan fungsinya sebagai Pembina agama. Kesuciannyapun tidak akan berkurang selama ia dapat mempertahankan hidup dan kehidupannya sebagai orang suci (Pidarta, 1997 : 134).

2.3  Hubungan Catur Asrama dengan Catur Purusartha
Kalau dilihat hubungan atau kaitannya dengan Catur Purusartha, maka Catur Purusartha (Dharma, Artha, Kama dan Moksa) itu akan terlihat sebagai filosofi hidup Catur Asrama :
1)      Dalam tingkatan Brahmacari, kedudukan Dharma sebagai ilmu pengetahuan adalah sangat penting. Tujuan pokok dari Brahamacari dalam hal ini adalah Dharma, sebagai Catur Purusartha yang pertama, yang disini dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan itu sendiri atau mempelajari ilmu pengetahuan. Karena itu Brahmacari memerlukan guru yang akan membimbingnya menekuni ilmu pengetahuan itu. Kegiatan Brahmacari adalah belajar, aguron-guron. Untuk itu diperlukan ketekunan dan kesungguhan agar pengetahuan suci dan ilmu spiritual yang dipelajarinya bisa diterima dengan baik. Jadi sekali lagi perlu ditegaskan bahwa yang dibutuhkan dalam masa brahmacari adalah mempelajari dan menghayati ajaran Dharma. Sedangkan Artha dan Kama sebagai Catur Purusartha yang kedua dan ketiga, belum begitu penting baginya. Perlu diketahui pula bahwa tahapan Brahmacari nantinya akan menjadi dasar dari tahapan Grhasta, Wanaprastha dan bhiksuka.
2)      Kemudian Brahmacari akan meningkatkan jenjang kehidupannya ke Grhasta. Setelah masuk kegerbang Grhasta barulah Artha dan Kama menjadi penting. Walaupun demikian untuk mendapatkan Artha dan Kama mereka selalu harus berpegang kepada ajaran Dharma. Dalam masa Grhasta mereka masuk dalam kancah rumah tangga, sudah berkeluarga, sudah beristri dan mungkin juga sudah punya keturuanan. Karena itu sebagai anggota masyarakat, mereka tentu mempunyai bermacam ragam kewajiban, baik kewajiban keagamaan maupun kewajiban kekeluargaan. Dilihat dari segi ini jenjang kehidupan Grhasta merupakan tahapan yang sangat berat tetapi merupakan tugas yang sangat mulia.
3)      Setelah hidup berumah tangga sebagai warga Grhasta, mereka lalu memasuki tahapan hidup yang ketiga yaitu Wanaprasta. Dalam hal ini mereka mengasingkan diri dari keramaian hidup bermasyarakan untuk bisa menjauhkan diridari keterikatan kehidupan duniawi. Mereka hidup menyendiri karena itu manfaan dari Artha dan Kama lalu menjadi semakin berkurang. Mereka bahkan sudah berani melepaskan diri dari ikan Artha dan Kama. Dalam masa Wanaprastha ini kegiatan yang banyak dilakukan adalah memusatkan pikirannya hanya kepada Tuhan. Mereka juga sudah melaksanakan tapa, bratha, yoga, dan semadhi.
4)      Tingakatan atau jenjang kehidupan yang terakhir adalah Bhiksuka atau Samnyasa. Tingkatan kehidupan ini dengan tingkatan kehidupan Wanaprastha sesungguhnya tidak banyak bedanya. Hanya saja dalam tingkatan yang terakhir ini mereka sudah matang dengan kegiatan tapa, bratha, yoga dan Samadhi. Pikirannyapun sama sekali sudah tidak terikat dengan dunia kenikmatan, tidak terikat dengan keduniawian. Mereka sudah tidak mempunyai keinginan lagi untuk mencapai Artha dan Kama. Pikirannya hanya satu yakni manunggalnya Atman dengan Brahman atau Moksa sebagai Catur Purusartha yang keempat. Kegitaanya sehari-hari hanya Tapa, brata, yoga dan Samadhi sambil merenungkan kekuasaan Tuhan, memuja dan memuji kebesaran  Tuhan. Disamping itu mereka juga sering kali melakukan Tirthayatra atau mengadakan kunjungan suci kepura-pura atau tempat-tempat suci lainnya (Suhardana, 2007 : 159 – 161). 
III.    PUNUTUP
Catur Asrama berasal dari kata “catur” dan asrama” Catur berarti empat dan Asrama berarti tahap kehidupan, tingkat atau jenjang kehidupan seseorag atau tempat bertapa (pertapaan).Dengan demikian catur asrama dapat diartikan sebagai empat jenjang kehidupan masyarakat. Tahap, tingkat atau jenjang kehidupan ini dihubungkan dengan umur, tingkat lmu pengetahuan suci, tingkat spiritualitas atau rohani, sifat dan perilaku atau moralitas seseorang (Suhardana,2007:143).Adapun bagian-bagian dari dari Catur Asrama yaitu 1) Brahmacari, Pada jaman sekarang batas Brahmacari lebih luas dari zaman dahulu.Kalau daluhu hanya terbatas kepada anak-anak dan para remaja yang belum waktunya menikah, maka pada zaman sekarang tidak ada pembatasan umur atau waktu untuk belajar.Di perguan tinggi orang-orang boleh belajar sambil berkeluarga.Malah menurut sestem pendidikan seumur hidup atau berkelanjutan, balajar itu tidak ada batasnya. Orang boleh belajar sampai tua, bercucu dan bercicit asal masih ada minat (Pidarta, 1997 : 129). 2) Grhasta adalah masa berumah tangga dimana pada jaman dahulu orang yang berumah tangga apabila ia telah selesai melalui tahapan Brahmacari yaitu masa menuntut ilmu pengetahuan yang akan berguna dalam ia memenuhi Artha dan Kama, tetapi jaman sekarang tidaklah sama dengan masa Grhasta pada jaman dahulu, karena banyak remaja yang mengalami masa Grhasta pada masa Brahmacari. 3) Wanaprasta, Kewajiban melaksanakan wanaprasta diutamakan bagi mereka yang sudah relatif bebas dari tanggung jawab keluarga, agar tidak mengganggu pertapaanya. Yang dimaksud bertapa bukanlah duduk termenung dari hari ke hari dan dari bulan ke bulan tidak bangun bangun melainkan mengekang diri, melepaskan diri dari keduniawian. 4) Sanyasa (Bhiksuka), Catur asrama yang terakhir adalah Sanyasa (Bhiksuka). Bagian Catur Asrama yang terakhir ini mungkin masih berlaku mungkin tidak.Hal itu bergantung pada kesadaran masyarakat serta homoginitas agama yang dipeluk masyarakat bila orang suci ini berada pada lingkungan masyarakat hindu yang memiliki kesadaran tinggi terhadapa agama mungkin hal tersebut di atas akan berlaku. Sebaliknya bila orang suci ini berada pada masyarakat heterogen dengan penganut hindu sedikit, apalagi kesadaran mereka rendah akan agama, hal di atas sangat sulit untuk dilaksanakan.











DAFTAR PUSTAKA

Pidarta, Made.1999.Hindu Untuk Masyarakat Umum Pada Jaman Pasca Modern. Surabaya: Paramita
Suhardana, K.M. 2007.Catur Purusartha Empat Tujuan Hidup Umat Hindu. Surabaya: Paramita
Wiana, I ketut. 1997. Cara Belajar Agama Hindu yang Baik cetakan pertama. Denpasar: Yayasan Dharma Narada.




















Tidak ada komentar:

Posting Komentar