HUBUNGAN ANTARA CATUR PUSARTHA
DENGAN
CATUR ASRAMA DALAM PENDIDIKAN
SEKARANG
ABSTRAK
Dalam
pendidikan Hindu kita mengenal adanya Catur
Asrama sebagai landasan konsepsional pendidikan Hindu Dharma dimana
didalamnya menyangkut jenjang pendidikan seumur hidup, dari tingkat anak-anak
sampai menjelang mati. Jadi Catur Asrama
di samping merupakan konsepsi hidup untuk mewujudkan tujuan hidup (Catur Purusartha), Catur Asrama juga sebagai
landasan konsepsional dari pendidikan Hindu. Sebagaimana telah dijelaskan, Catur Asrama itu adalah suatu upaya atau
usaha seseorang sesuai dengan tingkatan hidupnya. Masing-masing asrama memiliki
swadharmanya sendiri-sendiri. Tiap asrama
atau tingkatan hidup akan dapat berhasil dengan baik apabila ditunjang oleh
ilmu pengetahuan, kecakapan, keterampilan dan sikap yang benar dan tepat yang
relevan dengan masing-masing asrama (Asrama Dharma).
Catur Asrama berasal dari kata “catur” dan asrama” Catur berarti
empat dan Asrama berarti tahap
kehidupan, tingkat atau jenjang kehidupan seseorag atau tempat bertapa
(pertapaan).Dengan demikian catur asrama
dapat diartikan sebagai empat jenjang kehidupan masyarakat. Tahap, tingkat atau
jenjang kehidupan ini dihubungkan dengan umur, tingkat lmu pengetahuan suci,
tingkat spiritualitas atau rohani, sifat dan perilaku atau moralitas seseorang
(Suhardana,2007:143).
Brahmacari Asrama yaitu suatu masa
kehidupan berguru untuk mendapatkan ilmu pengetahuan Weda.Weda mengajarkan ilmu
pengetahuan untuk memperoleh kebahagian, material (Jagadhita) dan juga
mengajarkan tentang tujuan hidup kerohanian/Moksha (Wiana, 1997: 54). Pada
zaman sekarang fase hidup dalam mencari pengetahuan ini disebuat masa belajar,
yaitu dari sekitar umur 6 tahun sampai dengan sekitar 18 tahun (Pidarta,
1999:127) .
Grahasta artinya hidup berumah tangga, bersuami istri. Pada masa
kehidup-an Grhasta tujuan hidup
diprioritaskan untuk mendapatkan Artha
dan memenuhi Kama, oleh karena itu,
suatu rumah tangga belum dapat dilaksanakan kalau belum siap dengan sumber Artha berupa pekerjaan yang tetap yang
memberi hasil yang memadai untuk menjalankan rumah tangga. Demikian pula dengan
Kama yang menyangkut dorongan hidup
seperti nafsu haus, lapar dan seks. Tiga dorongan hidup itu harus dipenuhi
dengan berlandaskan Dharma.
Dalam
masa kehidupan Wanaprstha dan Sanyasa (Bhiksuka) tujuan utama dari kehidupan seseorang adalah untuk
mencapai kebebasan rohani yang disebut Moksha.
Kehidupan Wanaprstha merupakan
persiapan awal untuk menuju moksha yaitu dengan mewariskan nilai-nilai yang
positif untuk grhastin-grhastin penerus, disamping itu mempersiapkan
hal-hal yang mendasar untuk menghadapi
masa akhir dari hidup ini dengan harapan mendapatkan moksha. tahapan
Wanaprastha adalah masa menjauhkan diri dari kehidupan duniawi. Sedangkan masa
Sanyasa sudah berusaha melepaskan diri sama sekali dari kehidupan duniawi
CATUR
ASRAMA DALAM PENDIDIKAN SEKARANG
(Oleh
: Kelompok V)
I. PENDAHULUAN
Pendidikan adalah proses
pembelajaran dari yang tidak tahu menjadi tahu, proses pendidikan melalui
beberapa tahapan yang sangat penting. Pendidikan Hindu adalah media
yang sistematis dari penerapan ajaran Hindu.Sebelum kita langsung menajamkan
pembahasan mengenai landasan konsepsional tentang pendidikan Hindu ada
baiknyakita mengambil suatu perbandingan dengan menyetir beberapa pandangan
para ahli pendidikan modern terutama mengenai fungsi dan tahap-tahap,
pendidikan itu sendiri. Menurut C. Panunzio ada beberapa fungsi pendidikan:
1. Memindahkan
ilmu pengetahuan demi mencerdaskan masyarakat, dengan tujuan untuk
mempertahankan dan memajukan masyarakat itu sendiri.
2. Membiasakan
memindahkan ilmu pengetahuan itu termasuk pula kebiasaan-kebiasaan yang berlaku
dengan mejadikan anak didik itu berguna dalam mempertahankan dan mengembangkan
kebudayaan dan pertumbuhan sikap, wibawa dalam memajukan masyarakat.
3. Memasyarakatkan/
mensosialisasikan anak didik untuk menjadikan mereka tenaga-tenaga yang berguna
dalam memelihara dan menumbuhkan masyarakat, untuk tujuan-tujuan sosial.
Prof
Soeganda Poerbakawaca dalam bukunya Ensiklopedia
Pendidikan menjelaskan pengertian pendidikan dalam arti yang luas, juga
dijelaskan adanya pendidikan rendah, pendidikan menengah, pendidikan kejuruan,
pendidikan tinggi, pendidikan agama, pendidikan jasmani, pendidikan luar biasa
(tuna rungu dan tuna netra), pendidikan orang dewasa dan pendidikan wanita.
Dengan
mencantumkan pendapat-pendapat tersebut diatas, kita akan mendapatkan suatu
gambaran bahwa dalam konsepsi pendidikan Hindu kita telah mengenal adanya
sistem-sistem yang amat mendasar dalam menumbuhkan pengetahuan yang terdapat di
dalamnya. Dalam pendidikan Hindu kita mengenal adanya Catur Asrama sebagai
landasan konsepsional pendidikan Hindu Dharma dimana didalamnya menyangkut
jenjang pendidikan seumur hidup, dari tingkat anak-anak sampai menjelang mati.
Jadi Catur Asrama di samping merupakan konsepsi hidup untuk mewujudkan tujuan
hidup (Catur Purusartha), Catur Asrama
juga sebagai landasan konsepsional dari pendidikan Hindu. Sebagaimana
telah dijelaskan, Catur Asrama itu adalah suatu upaya atau usaha seseorang
sesuai dengan tingkatan hidupnya. Masing-masing asrama memiliki swadharmanya
sendiri-sendiri. Tiap asrama atau tingkatan hidup akan dapat berhasil dengan
baik apabila ditunjang oleh ilmu pengetahuan, kecakapan, keterampilan dan sikap
yang benar dan tepat yang relevan dengan masing-masing asrama (Asrama Dharma).
Dari
pengertian ini Catur Asrama juga merupakan landasan, konsepsi pendidikan Hindu
yang seumur hidup. selama hidup manusia di dunia ini, tidak dapat dilepaskan
dengan upaya mencari ilmu pengetahuan agar setiap tingkatan hidup itu dapat
dilalui dengan baik dan sukses.
Hal
ini diperkuat lagi dengan pengertian “Brahmacari” yang amat luas sebagaimana
diuraikan dalam Agastya parwa, Slokantara, Wrtisesana dan lain-lain. Brahmacari
dalam pengertian yang lebih luas yaitu mengabhayasa
Sang Hyang Sastra, Sastrantara dan Sastrajna. Brahmacari menjadi dasar daripada
setiap Asrama, baik Grhastra, Wanaprastha maupun Bhiksuka. Tidak ada tingkatan
hidup (asrama) ditempuh dengan sebaik-baiknya tanpa didasarkan pada ilmu
pengetahuan yang menjelma menjadi kecakapan, keterampilan dan sikap yang baik
dan tepat.
Cuma
perlu diperhatikan bahwa tiap-tiap Asrama (tingkatan hidup) membutuhkan ilmu,
kecakapan, keterampilan dan sikap hidup yang berbeda-beda sesuai dengan
tuntutan Asrama masing-masing. Dalam kakawin Nitisastra V dijelaskan bidang-bidang pengetahuan yang harus dipelajari setiap
tingkatan hidup. Adapun penjelasan Nitisastra adalah sebagai berikut:
Taki-takining
sewaka guna widya
Smara
wisayaruang puluhing ayusa
Tengahi
tuwuh san wacana gegonta
Patilaring
atmeng tanupagurokan
Artinya:
Usahakanlah
dengan tekun megabdi pada ilmu pengetahuan yang utama. Berumah tangga setelah
dua puluh tahun. Setelah setengah umur berpeganglah pada ucapan (ajaran) yang
baik. Setelah itu melepaskan Sang Hyang Atmalah yang dipelajari.
Arti dan makna ayang tersirat dalam
Kakawi Nitisastra tersebut, jelas sekali merupakan penggambaran tentang
pendidikan seumur hidup, bahkan sampai menjelang matipun kita harus belajar
terus, terutama melepaskan Sang Hyang Atma dari badan wadag, agar kepergian
kita ke alam baka menjadiselamat. Brahmacari dalam arti yang luas, yang menjadi
dasar asrama-asrama yang lainnya, dalam perwujudannya melahirkan dua fungsi
utama yang saling terkait. Dua fungsi itu dalam kegiatan brahmacari adalah
fungsi memberi ilmu dan menerima ilmu. Brahmacari yang bergerak dalam lapangan
ilmu pengetahuan berarti ada yang bergerak sebagai pemberi ilmu yang disebut
guru atau acraya dan penerima ilmu yang disebut sisya (murid).
Sistem
pendidikan berdasarkan Brahmacari lebih mengutamakan pendidikan kejiwaan atau
pendidikan watak atau pribadi para siswa disamping sebagai ilmu pengetahuan
(Sastrantara) dan pengetahuan tentang kitab suci Weda, Brahmacari membentuk
pribadi mulia dan mempergunakan dharma sebagai pedoman hidupnya. Oleh karena
itu Brahmacari adalah benih utama untuk mencapai tingkatan Grhasta,
Wanaprastha, Sanyasa (Bhiksuka)
(Wiana, 1997 : 61-64).
II. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
dan Bagian-bagian Catur Asrama
2.1.1
Pengertian Catur Asrama
Untuk mewujudkan cita-cita Hindu
Dharma mencapai Jagathita dan Moksa, maka setiap umat Hindu diajarkan untuk
mencapai empat tujuan hidup. Empat tujuan hidup itu disebut Catur Purusartha
yaitu Dharma, Artha, Kama dan Moksa.
Catur
Asrama berasal dari kata “catur” dan asrama” Catur berarti empat dan Asrama
berarti tahap kehidupan, tingkat atau jenjang kehidupan seseorag atau tempat
bertapa (pertapaan).Dengan demikian catur asrama dapat diartikan sebagai empat
jenjang kehidupan masyarakat. Tahap, tingkat atau jenjang kehidupan ini
dihubungkan dengan umur, tingkat lmu pengetahuan suci, tingkat spiritualitas
atau rohani, sifat dan perilaku atau moralitas seseorang (Suhardana,2007:143).
Empat tujuan hidup ini hanya dapat
dicapai melalui tahapan-tahapan hidup sesuai dengan pertumbuhan manusia itu
sendiri. Tahapan-tahapan
itu disebut Catur Asrama. Catur Asrama ini adalah konsep dasar untuk mencapai
umpet tujuan hidup itu. Sebagai konsep hidup, Catur Asrama juga menjadi landsan
konsepsional penerapan Hindu dharma. Karena penerapan Hindu Dharma bertujuan
untuk mewujudkan tujuan hidup manusia pula.
Menurut Wiana (1997:53-66) Catur
Asrama berasal dari kata catur yang artinya empat dan asrama yang artinya
“usaha seseorang”. Yang dimaksud dengan usaha seseorang dalam pengertian Catur
Asrama adalah usaha yang mutlak harus dilakukan oleh seseorang pada tiap-tiap
asrama.
Bentuk dan jenis usaha hidup yang
harus dilakukan pada masing-masing asrama sangat berbeda-beda sesuai dengan
unsur Catur Purusartha yang ingn dicapai pada tiap-tiap asrama. Tiap-tiap Catur
Purusartha wajib diwujudkan pada tahap-tahap asrama. Karena itu penerapan Hindu
Dharma harus menunjang terwujudnya tiap-tiap unsur dari Catur Purusartha.
2.1.2
Bagian-bagian Catur Asrama
Sesuai dengan namanya catur
asrama atau empat jenjang kehidupan masyarakat terdiri atas empat tahapan.
Menurut Ni Wayan Suratmini, (2002: 1) dan Puniatnadja (1994: 10) Catur Asrama
itu dapat dibagi seperti dibawah ini.
Ni Wayan Suratmini menjelaskan
apa yang tercantum dalam Sloka Silakrama sebagai berikut:
Catur Asrama
ngarannya Brahmacari
Grahasta,
Wanaprastha, Bhiksuka
Nahan tang Catur
Asrama ngarannya.
Artinya:
Yang bernama Catur Asrama adalah
Brahmacari,Grahastha, Wanaprastha dan Bhiksuka.
Sementara itu Puniatmadja, Catur Asrama dalam terjemahan
Sloka Silakrama adalah sebagai berikut:Yang dinamakan Catur Asrama adalah
Brahmacari, Grhasta, Wanaprastha, Bhiksuka. Demikianlah yag disebut Catur
Asrama (Suhardana,2007:144)
1. Brahmacari
Asrama.
Brahmancari berasal dari dua urat
kata yaitu Brahma artinya pengetahuan dan acaranya artinya mencari. Jadi
Brahmacari yaitu mencari pengetahuan (Pidarta, 1999 : 127).Brahmacari berasal
dari 2 kata , brahma dan cari . Brahma artinya ilmu pengetahuan suci dan Cari (
car ) yang artinya bergerak. Jadr brahmacari artinya bergerak di dalam
kehidupan menuntut ilmu pengetahuan ( masa menuntut ilmu pengetahuan )(http://supeksa.wordpress.com/2011/02/26/catur-asrama-dalam-agama-hindu/, 02/12/2013, 12:05).Brahmacari
Asrama yaitu suatu masa kehidupan berguru untuk mendapatkan ilmu pengetahuan
Weda. Weda mengajarkan ilmu pengetahuan untuk memperoleh kebahagian, material
(Jagadhita) dan juga mengajarkan tentang tujuan hidup kerohanian/Moksha (Wiana, 1997: 54).Pada zaman sekarang fase hidup
dalam mencari pengetahuan ini disebuat masa belajar, yaitu dari sekitar umur 6
tahun sampai dengan sekitar 18 tahun (Pidarta, 1999:127) .
Brahmacaryena
tapasa, raja rastram vi raksati, acaryo brahmacaryena, brahmacarinam icchate
(XI.5.17). Sa dadhara prthivim divam ca (XI.5.1). Tasmin devah sammanaso bha
vanti (XI.5.1).
Artinya :
Seorang pemimpin dengan
mengutamakan brahmacari dapat melindungi rakyatnya, dan seorang guru yang
melaksanakan brahmacari menjadikan siswanya orang yang sempurna; Seseorang yang
melaksanka brahmacari akan menjadi penopang kekuatan dunia; Tuhan (Hyang Widhi)
bersemayam pada diri seorang brahmacari (http://www.hindubatam.com/catur-asrama.html,
02/12/2013, 12:24).
Dalam masa kehidupan Brahmacari ini yang paling
diutamakan atau yang diprioritaskan
adalah Dharma, Artha, Kama dan moksha. Sedangkan Moksa belum menjadi
pusat perhatian. Masa kehidupan Brahmacari diutamakan untuk mengatahui
kewajiban, kebenaran dan kebajikan yang kesemuanya itu disebut dharma. Tatwa
Dyatmika adalah ilmu pengetahuan tentang rahasia spiritual untuk meningkatkan
kedewasaan rohani dalam menghadapi perjalanan hidup ini. Sedangkan Guna Widya
adalah ilmu pengetahuan yang dapat dipakai untuk memperoleh berbagai
keterampilan untuk mendapatkan pekerjaan dalam memelihara dan meningkatkan mutu
hidup ini.
Tattwa
Adyamika adalah berfungsi untuk mengembangkan sifat-sifat baik untuk membangun
watak dan karakter yang luhur. Sedangkan Guna Widya berfungsi untuk
mengembangkan bakat-bakat pembawaan untuk menjadi keterampilan yang
profesioanal. Orang yang profesional serta memiliki watak yang luhur merupakan
sumber daya manusia yang diharapkan oleh zaman yang semakin maju
Dalam naskah berbahasa jawa kuna yang bernama Agastia
Parwa kita mendapatkan keterangan tentang Brahmacari yang lebih lengkap sebagai
berikut:.....Brahmacari ngaranya sang
sedeng mangapbyasa Sang Hyang sastra, muang Sang Wruh ring tingkahing Sang
Hyang Aksara samangkana kramnya sang Brahmacari Ngaranya.
Kunag sang
sinangguh Brahmacari ring loka ikang tang sanggraheng wyasa istryadi, yeke
Brahmacari ring loka. Kunag paraning atma pradisa sang ksepania, sang Yogiswara
sira brahmacari ring sastrantara ring sastrajna.
Artinya:
Brahmacari
namanya orang yang sedang mempelajari ilmu pengetahuan (sastra) dan yang
mengetahui ilmu huruf (aksara), orang yang demikian pekerjaannya disebut
Brahmacari.
Adapu yang dianggap brahmacari didalam masyarakat adalah
orang yang tidak terikat nafsu keduniawian, tidak beristri. Sedangkan Brahmacari Caranam artinya menuntut ilmu
pengetahuan kerohanian (Atma Pradesa).
Sang Yogiswara, Beliau brahmacari diberbagai ilmu (Sastrantara) dan didalam kebijaksanaan (Sastrajna).
Jadi berdasarkan isi Agastya Parwa ini, yang dimaksud
brahmacari amat luas pengertiannya, yang dapat dirinci sebagai berikut:
1) Orang
yang belajar ilmu pengetahuan dan ilmu tentang hidup.
2) Orang
yang lepas dari nafsu keduniawian seperti tidak beristri disebut Brahmacari ring Loka.
3) Orang
yang menuntut ilmu pengetahuan kerohanian disebut dengan nama Brahmacari caranam.
4) Sang
Hyang Yogiswara yang ahli dalam ilmu pengetahuan (Sastrantara) dan ilmu pengetahuan kebijaksanaan (Sastrajna) disebut juga Brahmacari.
Didalam
penjelasan sloka pertama dari naskah Slokantara disebutkan adanya tiga macam
brahmacari yanitu
1) Sukla
Brahmacari: orang yang tidak kawin seumur hidupnya bukan karena cacat badan
seperti wangdu, bahkan ia tidak pernah mambicarakan tentang perkawinan sampai
dihari tuanya.
2) Sewala
Brahmacari: orang yang kawin hanya sekali saja sekalipun ditinggal mati oleh
istrinya.
3) Krsna
Brahmacari: orang yang kawin lebih dari sekali dan paling banyak empat kali.
Prof. Dr. Y. Gonda dalam bukunya Sanskrit in Indonesia, membagi brahmacari itu menjadi empat yaitu,
Sukla Brahmacari, Trsna Brahmacari, Sewala Brahmacari dan Grhasta Brahmacari.
Gonda tidak menggunakan Krsna Brahmacari tetapi Trsna yang artinya cinta terus
menerus walaupun istrinya telah meninggal. Sedangkan Grhasta Brahmacari adalah
orang yang tidak menjauhkan dirinya dengan seks dalam perkawinan.
Dalam lontar WrtiSesana pembagian Brahmacari sama dengan
Slokantara Cuma sedikit ada perbedaan pengertian Sewala Brahmacari dan Trsna Brahmacari. Dalam
lontar Wrtisesana yang dimaksud dengan Sewala Brahmacari adalah tidak kawin
selama menuntut ilmu. Akan tetapi setelah masa berumah tangga tiba, maka ia
kawin dengan maksud mendapatkan keturunan dan juga ia tahu tentang puja-puja
senggama, tentang waktu dan tempat untuk itu dan mengetahui pula siapa-siapa
yang patut dikawini untuk mendapatkan keturunan yang baik.
Dari penjelasan beberapa naskah diatas, meskipun ada
perbedaan penjelasan, namun hakikat Brahmacari itu dalah suatu usaha untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan suci untuk melanjutkan hidup termasuk dalam
melanjutkan perkawinan. Ini berarti sungguh sulit mendapatkan kebahagian hidup
berumah tangga tanpa ditopang oleh ilmu pengetahuan yang memadai (Wiana,1997).
2. Grhasta Asrama
Grahasta
artinya hidup berumah tangga, bersuami istri. Pada masa kehidup-an Grhasta
tujuan hidup diprioritaskan untuk mendapatkan Artha dan memenuhi Kama, oleh
karena itu, suatu rumah tangga belum dapat dilaksanakan kalau belum siap dengan
sumber Artha berupa pekerjaan yang tetap yang memberi hasil yang memadai untuk
menjalankan rumah tangga. Demikian pula dengan Kama yang menyangkut dorongan
hidup seperti nafsu haus, lapar dan seks. Tiga dorongan hidup itu harus
dipenuhi dengan berlandaskan Dharma.
Kama
adalah salah satu media untuk mendapatkan kebahagiaan dan jangan samapai Kama
itu memperalat manusia (sang diri). Sang diri harus mampu membatasi Kama.
Manusia tanpa Kama tidak dapat menikmati kebahagiaan sejati dari hidup didunia
ini. Akan tetapi Kama tanpa batas dan kendali, maka keindahan dunia ini akan
berbalik menjadi sumber kehancuran. Demikianlah hidup dalam Grhasta Asrama,
harus berlandaskan Dharma. Grhasta tanpa berlandaskan Dharma akan mengakibatkan
Artha dan Kama yang merupakan prioritas utama dalam Grhasta menjadi sumber
kehancuran Grhasta itu sendiri.
Didalam
Agstya Parwa dijelaskan tentang Grhasta Asrama sebagai berikut: .....grhasta ta sira mastri pwa sira,
mana-madrewya hulun, ityewawadi, mangunaken kayekadharma yathasakti....
Artinya:
Grhasta-lah
beliau, beristilah beliau, mempunyai anak, memiliki abdi, memupuk kebajikan
yang berhubungan dengan pembinaan diri pribadi (kayikadharma) dengan kekuatan yang ada padanya (yathasakti).
3. Wanaprhastha
dan Sanyasa
Dalam masa kehidupan Wanaprstha dan Sanyasa (Bhiksuka)
tujuan utama dari kehidupan seseorang adalah untuk mencapai kebebasan rohani
yang disebut Moksha. Kehidupan Wanaprstha merupakan persiapan awal untuk menuju
moksha yaitu dengan mewariskan nilai-nilai yang positif untuk grhastin-grhastin
penerus, disamping itu mempersiapkan hal-hal
yang mendasar untuk menghadapi masa akhir dari hidup ini dengan harapan
mendapatkan moksha. tahapan Wanaprastha adalah masa menjauhkan diri dari
kehidupan duniawi. Sedangkan masa Sanyasa sudah berusaha melepaskan diri sama
sekali dari kehidupan duniawi.
Pada tahapan Wanaprstha, usaha hidup yang paling utama
adalah melepaskan diri secara bertahap dari nafsu duniawi, sedangkan pada tahap
Sanyasa disamping melepaskan diri dari ikatan badan, karena fungsi badan
perlahan-lahan akan semakin berkurang dan bagaimanapun kita harus ikhlaskan
untuk melepaskan. Oleh karena itu pada masa Sanyasa asrama orang tidak akan
dapat memperoleh kesenangan hidup melalui alat-alat tubuhnya. Oleh karena
fungsi alat-alat tubuh sudah sangat jauh dari yang diharapkan maka, harapan
untuk mendapatkan kenikmatan hidup duniawi sudah tidak mungkin. Kenyataan
inilah yang mengharuskan masa Sanyasa Asrama melepaskan masalah Artha dan Kama.
Harapan satu-satunya hanya bisa ditunjukkan pada dunia spiritual. Pada masa
Sanyasa Asrama inilah puncak keikhlasan harus diberikan prioritas utama.
Sat-saat mengakhiri hidup di dunia ini, setiap orang harus sudah mantap dalam
keiklhasan untuk melepaskan diri dari segala ikatan-ikatan dunia. Kalau hal itu
belum terwujud, daapt dipastikan orang akan digeluti oleh rasa takut dan
gelisah untuk melepaskan dunia ini.
Dalam Agyastya Parwa dijelaskan tentang Wanaprastha dan
Bhiksuka sebagai berikut: ......wanaprastha
ta sira, mur saking grama mwang, mungwing suci desa, makadi wukir. Magawe
patapan, sthananira gumawayaken panca karma mwang malwangi wisaya mwang
mangdesanaken dharma, huwus pwa sira wanaprastha, bhiksuka ta sira, mur saking
patapan ira, nisparigraha, tan pangaku patapan, tan pangaku sisya, tan pangaku
panhruh padaya tiningglaken ira.
Artinya:
Wanaprastha-lah
beliau, pergi dari desa dan menetap ditempat yang bersih suci terutama di
gunung, mendirikan pertapaan sebagai tempatnya melakukan Panca Karma dan
mengurangi nafsu kedunia-wian serta mengajarkan ajaran kerohanian. Setalah
beliau melakukan Wanaprastha, Bhiksuka-lah beliau, pergi dari pertapaannya,
tidak terikat, tidak mengaku memiliki pertapaan, tidak merasa punya murid,
tidak merasa berpengetahuan, semua itu ditinggalkan oleh beliau.
Demikian
lah Catur Asrama merupakan empat tingkatan hidup yang bersifat formal dan tidak
kaku dalam penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini hubungan
antara Catur Purusartha, dengan Catur Asrama amat erat. Catur Purusartha atau
Catur Warga adalah empat tujuan hidup yang terjalin erat dan saling tunjang menunjang
dengan yang lainnya, tak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Dharma
adalah dasar untuk mendapatkan Artha, Kama dan Moksha. Tetapi sebaliknya, tanpa
artha, kama dan moksha, dharma-pun tidak dapat dijalankan dengan sempurna.
Tidak ada Swadharma (kewajiban) atau kebenaran yang dapat dilaksanakan dengan
sempurna tanpa artha dan kama. Misalnya menuntut ilmu ataupun berdana punia
adalah perbuatan dharma tetapi kesemuanya itu baru dapat dilakukan kelau ada
artha dan kama (keinginan dan semangat). Demikian pula moksa berasal dari
bahasa sansekerta dari uarat kata “ mucch” artinya bebas tanpa ikatan.
Kebebasan tersebut adalah merupakan kenyataan yang setiap saat diperjuangkan
oleh manusia. Untuk mendapatkan kebebasan yang paling ideal, membutuhkan
perjuangan yang sungguh-sungguh dan bertahap.
Misalnya
seorang murid atau siswa kelas satu. Pertama-tama yang harus diperjuangkan
adalah untuk mendaptkan kebebasan dari semua ikatan pendidikan yang berlaku di
kels satu. Kalau ia berhasil menaati semua ikatan itu iapun akan bebas dan naik
tingakat ke kelas dua. Demikian pula di kelas berikutnya, meruka pun berjuang
untuk menaati segala ikatan berupa kewajiban-kewajiaban edukatif dan kalau ia
berhasil iapun akan lepas dari ikatan kewajiban di kelas dua dan dapat
meningkatkan untuk duduk di kelas tiga. Demikianlah seterusnya sampai ia tamat
dan mencapai puncak cita-citanya sebagai seorang murid. Demikian pula moksha,
di mana dan kapanpun selalu diikat oleh kewajiban-kewajiban hidupnya. Kewajiban
itu adalah merupakan ikatan suci yang kalau dapat ditaati akan dapat memberikan
kebebasan bertahap kepada pelaku-pelakunya.
Seorang
kepala rumah tangga atau Grhasta yang baik tentunya memiliki perencanaan dalam
memimpin rumahtangganya. Itu wajib ia lakukan dengan penuh keyakinan dan
kesungguhan. Kewajiban Grhasta merupakan ikatan suci (dharma). Kalau ia dapat berhasil
melaksnakan kewajibannya iti, ia dapat berhasil mendapatkan rasa bebas dari
ikatan. Misalnya kewajiban untuk menyekolahkan putra-putrinya. Ini adalah suatu
ikatan namun suci nilainya. Kalau ia taat dan berhasil menyekolahkan
putra-putrinya itu, seorang Grhastapun akan mendapatkan suatu rasa bebas dari
ikatan.
Demikianlah
moksa atau kebebasan dari ikatan
merupakan kenyataan hidup yang harus diperjuangkan secara bertahap, pasti dan
penuh keyakinan. Kalau ikatan demi ikatan dalam hidup ini dapat dilepaskan satu demi satu secara
bertahap, maka kebebasan yang paling ideal berupa moksa akan dapat dicapai.
Yang
perlu diingat disini adalah kebebasanhanya akan dapat dicapai melalui
keterikatan. Seorang siswa baru dapat mencapai kebebasan sebagai seorang siswa
apabila ia dengan taat melakukan ikatan-ikatan berupa kewajiban-kewajiban yang
telah ditentukan bagi seorang siswa. Kalau ia dari awal sudah mulai bebas,
tidak menaati semua ikatan berupa kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan,
maka ia pun tidak akan pernah menikmati kebebasan sebagai siswa. Jadi kebebasan
itu merupakan suatu kebutuhan nyata bagi manusia, untuk diraih secara bertahap
sehingga mencapai puncaknya dan inilah kebebasan yang ideal yang disebutkan
moksa. Karena orang tidak akan pernah mencapai puncak kebebasan yang ideal itu
dengan melepaskan dirinya dari kewajiban-kewajiban hidupnya. Inilah hubungan
yang terjalin antara dharma dan moksha.
Kalau
Catur Purusartha atau Catur Warga merupakan tujuan hidup setiap umat Hindu,
maka Catur Asrama adalak konsep hidup untuk mencapai tujuan hidup. Jadi Catur
Pusartha dan Catur Asrama ini adalah landasan konsepsional dari hubungan
sosiolaogis antara manusia dengan manusia dengan kelompok manusia dengan
kelompok manusia lainnya mengantarkan manusia mewujudkan masyarakat yang
sejahtera fisik material (jagadhita) dan sejahtera moral spiritual (moksha).
2.2 Catur
Asrama dalam Pendidikan Sekarang
1.
Brahmacari
Pada jaman sekarang batas
Brahmacari lebih luas dari zaman dahulu.Kalau daluhu hanya terbatas kepada
anak-anak dan para remaja yang belum waktunya menikah, maka pada zaman sekarang
tidak ada pembatasan umur atau waktu untuk belajar.Di perguan tinggi
orang-orang boleh belajar sambil berkeluarga.Malah menurut sestem pendidikan
seumur hidup atau berkelanjutan, balajar itu tidak ada batasnya. Orang boleh
belajar sampai tua, bercucu dan bercicit asal masih ada minat (Pidarta, 1997 :129).
2.
Grhasta
Grhasta
adalah masa berumah tangga dimana pada jaman dahulu orang yang berumah tangga
apabila ia telah selesai melalui tahapan Brahmacari yaitu masa menuntut ilmu
pengetahuan yang akan berguna dalam ia memenuhi Artha dan Kama, tetapi jaman
sekarang tidaklah sama dengan masa Grhasta pada jaman dahulu, karena banyak
remaja yang mengalami masa Grhasta pada masa Brahmacari.
3.
Wanaprasta
Kewajiban
melaksanakan wanaprasta diutamakan bagi mereka yang sudah relatif bebas dari
tanggung jawab keluarga, agar tidak mengganggu pertapaanya.Yang dimaksud
bertapa bukanlah duduk termenung dari hari ke hari dan dari bulan ke bulan
tidak bangun bangun melainkan mengekang diri, melepaskan diri dari keduniawian.
Pada
jaman dahulu orang bertapa di gunung dan di bukit.Pada jaman sekarang hampir semua wilayah digunung atau di bukit adalah
milik orang, sehingga tidak mudah bagi orang lain untuk menempatinya.Salah satu
jalan keluar dari kesulitan ini adalah bertapa di rumah, baik di desa maupun di
kota yaitu dirumah kediaman sendiri.
Bila wanaprasta berarti menjauhi
keduniawian, berarti tidak harus di gunung melainkan dimana saja boleh.Sebab
yang menjauhi keduniawian adalah hati kita, bukan lingkungan tempat tinggal
kita.Begitu pula halnya dengan bertapa adalah hati kita, bukan lingkungan.Kalau
hati kita bisa menutup diri dari keramaian lingkungan, maka bertapa di rumah
tidak menjadi masalah. Cudamani (1992) menulis : bila daya tarik dunia telah
ditundukkan, maka tempat meditasi tidak menjadi masalah. Jadi dimanapun kita
diperbolehkan bertapa tidak harus pergi ke gunung.
Ada beberapa keuntungan melakukan
tapa dan menditasi di rumah.Sebagai orang tua, kita masih bisa mengamati dan
membina keluarga.Tidak perlu repot-repot memindahkan dapur dan mencari tempat
baru. Nyamuk tidak akan mengganggu ketika melakukan meditasi, sebab rumah sudah
biasa bebas dari nyamuk. Dan kita tetap bisa bekerja walaupun menjalani
wanaprasta.Itulah keuntungan-keuntungan melakukan tapa di rumah sendiri.Karena
itu asal ada kemauan, melaksanakan kewajiban melakukan wanaprasta tidak
merupakan suatu masalah.Mungkin terasa aneh kalau ada orang bertapa sambil
bekerja.
Secara umum memang batas Grehasta
dengan wanaprasta adalah saat berakhirnya tanggung jawab bersama keluarga.Namun
wanaprasta bisa dipercepat manakala orang sudah siap meniggalkan keramaian
dunia.Tidak ada lagi benda-benda dunia yang menarik hatinya.Bekerja dan
tanggung jawab terhadap keluarga, tidaklah berarti tertari pada benda-benda
dunia.Karena dia bekerja dengan prinsip karma yoga, yaitu bekerja demi
pekerjaan itu berhasil dengan baik, tidak mengejar keuntungan apapun.Juga dia
bertanggung jawab kepada keluarga secara manusa yadnya, tidak ada maksud
kebendaan apapun, hanya didasari oleh kasih terhadap anak-anak yang harus
berkembang dengan sempurna.Jadi melakukan tapa semasih bekerja dan bertanggung
jawab terhadap keluarga tidak dilarang selama orang bersangkutan sudah siap.
Bila kita menunggu menjalani
wanaprasta sesuai dengan aturan umum, maka ditakutkan akan ketinggalan waktu,
sebab pertapaan sampai mencapai moksa cukup panjang memakan waktu yang
bertahun-tahun lamanya. Hal-hal yang mungkin membuat kita ketinggalan waktu adalah,
kita sudah tua tetapi anak-anak belum semua menikah, ada perbedaan umur yang
besar antara suami dan istri sehingga yang satu sudah tua dan yang lain masih
muda, da nada orang yang pension pada umum 65 tahun bahkan ada yang pada umur
70 tahun. Kemungkinan halangan-halangan ini harus ditembuh melalui kebulatan
tekad kita untuk memasuki pase wanaprasta mendahului aturan umum (Pidarta, 1997
:131).
4.
Sanyasa
(Bhiksuka)
Catur asrama yang terakhir adalah
Sanyasa (Bhiksuka).Bagian Catur Asrama yang terakhir ini mungkin masih berlaku
mungkin tidak.Hal itu bergantung pada kesadaran masyarakat serta homoginitas
agama yang dipeluk masyarakat bila orang suci ini berada pada lingkungan
masyarakat hindu yang memiliki kesadaran tinggi terhadapa agama mungkin hal
tersebut di atas akan berlaku. Sebaliknya bila orang suci ini berada pada
masyarakat heterogen dengan penganut hindu sedikit, apalagi kesadaran mereka
rendah akan agama, hal di atas sangat sulit untuk dilaksanakan.
Masalah yang muncul disini adalah
bagaimana membuat masyarakat hindu siap menanggung kehidupan orang suci,
sementara masyarakat itu sendiri masih berjuang keras untuk mempertahankan
kehidupan keluarganya. Masalah yang kedua adalah apakah layak orang hidup pada
jaman sekarang tanpa tempat tinggal, apakah tidak akan dilecehkan serta
dipandang sebagai pengemis.
Mengenai kesadaran masyarakat
sekarang untuk menghidupi orang suci, orang yang sudah duduk dalam tingkat
sanyasa dapat dibina secara
perlahan-lahan. Tetapi mereka tidak dapat dipaksa manakala kondisi ekonomi
mereka sangat rendah. Oleh sebab itu walaupun kesadaran masyarakat dapat
ditingkatkan, namun tidak menjamin bahwa mereka akan menghidupi orang suci.
Mengenai tidak punya tempat
tinggal dan hidup seperti orang meminta-minta, tidaklah pantas bagi orang suci
hidup seperti itu dijaman modern sekarang.Beliau perlu dibuatkan tempat
tinggal.Untuk masyarakat yang kaya hal ini tidak menjadi masalah.Tetapi
bagaimana halnya dengan masyarakat yang miskin tentu tidak sanggup membuatkan.
Oleh sebab itu cara hidup para
sanyasin pada jaman dahulu tidak cocok diterapkan pada jaman sekarang. Cara
hidup itu perlu dimodifikasi, dengan tidak mengubah fungsi dan kesuciannya.
Sanyasin pada jaman sekarang tidak perlu mengembara, ia dapat hidup pada tempat
tinggal tertentu. Dari tempat tinggal inilah ia melaksanakan fungsinya sebagai
Pembina agama. Kesuciannyapun tidak akan berkurang selama ia dapat
mempertahankan hidup dan kehidupannya sebagai orang suci (Pidarta, 1997 : 134).
2.3 Hubungan Catur Asrama dengan
Catur Purusartha
Kalau dilihat hubungan atau
kaitannya dengan Catur Purusartha, maka Catur Purusartha (Dharma, Artha, Kama
dan Moksa) itu akan terlihat sebagai filosofi hidup Catur Asrama :
1)
Dalam
tingkatan Brahmacari, kedudukan Dharma sebagai ilmu pengetahuan adalah sangat
penting. Tujuan pokok dari Brahamacari dalam hal ini adalah Dharma, sebagai
Catur Purusartha yang pertama, yang disini dapat diartikan sebagai ilmu
pengetahuan itu sendiri atau mempelajari ilmu pengetahuan. Karena itu
Brahmacari memerlukan guru yang akan membimbingnya menekuni ilmu pengetahuan
itu. Kegiatan Brahmacari adalah belajar, aguron-guron. Untuk itu diperlukan
ketekunan dan kesungguhan agar pengetahuan suci dan ilmu spiritual yang
dipelajarinya bisa diterima dengan baik. Jadi sekali lagi perlu ditegaskan
bahwa yang dibutuhkan dalam masa brahmacari adalah mempelajari dan menghayati
ajaran Dharma. Sedangkan Artha dan Kama sebagai Catur Purusartha yang kedua dan
ketiga, belum begitu penting baginya. Perlu diketahui pula bahwa tahapan
Brahmacari nantinya akan menjadi dasar dari tahapan Grhasta, Wanaprastha dan
bhiksuka.
2)
Kemudian
Brahmacari akan meningkatkan jenjang kehidupannya ke Grhasta. Setelah masuk
kegerbang Grhasta barulah Artha dan Kama menjadi penting. Walaupun demikian
untuk mendapatkan Artha dan Kama mereka selalu harus berpegang kepada ajaran
Dharma. Dalam masa Grhasta mereka masuk dalam kancah rumah tangga, sudah
berkeluarga, sudah beristri dan mungkin juga sudah punya keturuanan. Karena itu
sebagai anggota masyarakat, mereka tentu mempunyai bermacam ragam kewajiban,
baik kewajiban keagamaan maupun kewajiban kekeluargaan. Dilihat dari segi ini
jenjang kehidupan Grhasta merupakan tahapan yang sangat berat tetapi merupakan
tugas yang sangat mulia.
3)
Setelah
hidup berumah tangga sebagai warga Grhasta, mereka lalu memasuki tahapan hidup
yang ketiga yaitu Wanaprasta. Dalam hal ini mereka mengasingkan diri dari
keramaian hidup bermasyarakan untuk bisa menjauhkan diridari keterikatan
kehidupan duniawi. Mereka hidup menyendiri karena itu manfaan dari Artha dan
Kama lalu menjadi semakin berkurang. Mereka bahkan sudah berani melepaskan diri
dari ikan Artha dan Kama. Dalam masa Wanaprastha ini kegiatan yang banyak
dilakukan adalah memusatkan pikirannya hanya kepada Tuhan. Mereka juga sudah
melaksanakan tapa, bratha, yoga, dan semadhi.
4)
Tingakatan
atau jenjang kehidupan yang terakhir adalah Bhiksuka atau Samnyasa. Tingkatan
kehidupan ini dengan tingkatan kehidupan Wanaprastha sesungguhnya tidak banyak
bedanya. Hanya saja dalam tingkatan yang terakhir ini mereka sudah matang
dengan kegiatan tapa, bratha, yoga dan Samadhi. Pikirannyapun sama sekali sudah
tidak terikat dengan dunia kenikmatan, tidak terikat dengan keduniawian. Mereka
sudah tidak mempunyai keinginan lagi untuk mencapai Artha dan Kama. Pikirannya
hanya satu yakni manunggalnya Atman dengan Brahman atau Moksa sebagai Catur
Purusartha yang keempat. Kegitaanya sehari-hari hanya Tapa, brata, yoga dan
Samadhi sambil merenungkan kekuasaan Tuhan, memuja dan memuji kebesaran Tuhan. Disamping itu mereka juga sering kali
melakukan Tirthayatra atau mengadakan kunjungan suci kepura-pura atau
tempat-tempat suci lainnya (Suhardana, 2007 : 159 – 161).
III.
PUNUTUP
Catur Asrama berasal dari kata
“catur” dan asrama” Catur berarti empat dan Asrama berarti tahap kehidupan,
tingkat atau jenjang kehidupan seseorag atau tempat bertapa (pertapaan).Dengan
demikian catur asrama dapat diartikan sebagai empat jenjang kehidupan
masyarakat. Tahap, tingkat atau jenjang kehidupan ini dihubungkan dengan umur,
tingkat lmu pengetahuan suci, tingkat spiritualitas atau rohani, sifat dan
perilaku atau moralitas seseorang (Suhardana,2007:143).Adapun bagian-bagian
dari dari Catur Asrama yaitu 1) Brahmacari, Pada jaman sekarang batas
Brahmacari lebih luas dari zaman dahulu.Kalau daluhu hanya terbatas kepada
anak-anak dan para remaja yang belum waktunya menikah, maka pada zaman sekarang
tidak ada pembatasan umur atau waktu untuk belajar.Di perguan tinggi
orang-orang boleh belajar sambil berkeluarga.Malah menurut sestem pendidikan
seumur hidup atau berkelanjutan, balajar itu tidak ada batasnya. Orang boleh
belajar sampai tua, bercucu dan bercicit asal masih ada minat (Pidarta, 1997 :
129). 2) Grhasta adalah masa berumah tangga dimana pada jaman dahulu orang yang
berumah tangga apabila ia telah selesai melalui tahapan Brahmacari yaitu masa
menuntut ilmu pengetahuan yang akan berguna dalam ia memenuhi Artha dan Kama,
tetapi jaman sekarang tidaklah sama dengan masa Grhasta pada jaman dahulu,
karena banyak remaja yang mengalami masa Grhasta pada masa Brahmacari. 3) Wanaprasta,
Kewajiban melaksanakan wanaprasta diutamakan bagi mereka yang sudah relatif
bebas dari tanggung jawab keluarga, agar tidak mengganggu pertapaanya. Yang
dimaksud bertapa bukanlah duduk termenung dari hari ke hari dan dari bulan ke
bulan tidak bangun bangun melainkan mengekang diri, melepaskan diri dari
keduniawian. 4) Sanyasa (Bhiksuka), Catur asrama yang terakhir adalah Sanyasa
(Bhiksuka). Bagian Catur Asrama yang terakhir ini mungkin masih berlaku mungkin
tidak.Hal itu bergantung pada kesadaran masyarakat serta homoginitas agama yang
dipeluk masyarakat bila orang suci ini berada pada lingkungan masyarakat hindu
yang memiliki kesadaran tinggi terhadapa agama mungkin hal tersebut di atas
akan berlaku. Sebaliknya bila orang suci ini berada pada masyarakat heterogen
dengan penganut hindu sedikit, apalagi kesadaran mereka rendah akan agama, hal
di atas sangat sulit untuk dilaksanakan.
DAFTAR PUSTAKA
Pidarta, Made.1999.Hindu Untuk Masyarakat Umum Pada Jaman Pasca
Modern. Surabaya: Paramita
Suhardana, K.M. 2007.Catur Purusartha Empat Tujuan Hidup Umat
Hindu. Surabaya: Paramita
Wiana,
I ketut. 1997. Cara Belajar Agama Hindu yang Baik cetakan pertama. Denpasar: Yayasan Dharma Narada.
http://supeksa.wordpress.com/2011/02/26/catur-asrama-dalam-agama-hindu/, 02/12/2013, 12:05.
http://www.hindubatam.com/catur-asrama.html, 02/12/2013, 12:24.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar