Senin, 27 Januari 2014

Siva Siddhanta


PASUPATA DUALISME
Pasupata dualisme merupakan menafsirkan filosofis dari konsep Veda tentang Rudra sebagai Pasupati. Dalam kenyataannya 2 dari 5 kategori awal diakui oleh system ini, yang dinyatakan oleh 2 buah kata yang menyusun nama “Pasupati” dan 2 kategori pertama disebut “Pati” dan “Pasu” atau Karana dan Karya. Roh-roh pribadi digambarkan berada dibawah pengendalian dan bergantung pada Tuhan atau Pati. Kelihatannya teori metafisika dari Pasupata ada paling awal yang didasarkan pada konsep penyebab tanpa sebab, diterima baik oleh Nyaya maupun Vaisesika, karena menurut Haribadra Suri, Rsi Kanada adalah seorang Pasupata dan Rsi Aksapada adalah seorang Saiva,dimana yang pertama lebih awal daripada yang terakhir yang mengikutinya pandangan metafisika yang pertama.
Karena keterbatasan literature tentang Pasupata Dualisme, maka kita tidak dapat mengetahui secara rinci tentang teori metafisikanya, tetapi apabila kita mengambil secara bersama-sama apa yang kita dapati tentang hal itu dalam ulasan Vedanta Sutra oleh Sankara dan ulasan-ulasan sejenis dari Vacaspati Misra dan Anandagiri, kita akan mendapatkan sedikit gambaran yang agak jelas tentang dasar dari Pasupata Dualisme, yang dapat dinyatakan sebagai berikut :
1.      Ia mengakui Tuhan (Pati) hanya sebagai penyebab efisien saja dan juga menyatakan keberadaan yang bebas dari penyebab material, seperti yang telah dinyatakan diatas.
2.      Ia mengakui 5 kategori awal yaitu a. Penyebab (Karana), b. Akibat (Karya), c. Penyatuan ( Yoga), d. Ritual (Vidhi), e. Pembebasan sebagai akhir dari segala kedukaan (Duhkhanta). Kategori-kategori ini umum pada Lakulisa Pasupata, yang berbeda dengan Pasupata karena yang pertama bersifat Dvaitadvaita, sedangkan yang kedua adalah Dvaita (dualisme). Pandangan ini ditunjang oleh 2 pengulasan Saiva tentang Vedanta Sutra yaitu Srikantha dari Sripati Pandita, yang keduanya menyalahkan dualism murni dan menyatakan bahwa system yang dikritik oleh Badarayana adalah system Saiva Dvaita.
3.      Tampaknya juga ia menempatkan kategori Karya dari Mahan menuju bumi, yang oleh Samkhya diakui sebagai kategori yang tergantung dan kategori ini juga diakui oleh Lakulisa Pasupata, tetapi sebagai bagian dari “Kala”, salah satu dari 3 kategori yang tergantung yaitu : Vidya, Kala, dan Pasu.
4.      Tampaknya ia mengakui Pradhana sebagai penyebab material, yang terpisah dari Tuhan (Pati) sebagai penyebab efisien.
5.      Ia menerima roh-roh pribadi menjadi pribadi secara timbal balik dengan kedua penyebab, baik penyebab efisien maupun penyebab material, pandangan mana telah dipegang teguh oleh Vaisesika.
6.      Tampaknya ia mengakui bahwa Tuhan, dalam penciptaan dunia empiris yang beraneka warna ini, dipengaruhi oleh Karma.
7.      Ia mengakui pembebasan ( moksa) tiada lebih dari akhir segala kesedihan  dan kedua poin ini juga telah dipegang teguh oleh Vaisesika.


Patanjali, seorang yogi (praktisi yoga), menerangkan bahwa yoga memiliki 8 bagian yang tidak terpisahkan, yaitu : Yama (mengendalikan diri), Niyama (ketaatan), Asana (Sikap badan), Pranayama (pengaturan nafas), Pratyahara (Pengaturan diri/indra), Dharana (Konsentrasi), Dhyana (Meditasi), dan Samadhi (Keseimbangan). Bagian-bagian yoga tersebut tidak dapat dipisahkan, sebagaimana bagian tubuh manusia yang juga tidak dapat dipisah-pisahkan. Pengaturan nafas tanpa pengaturan diri, bukanlah Yoga, demikian seterusnya. Kedelapan bagian tersebut adalah satu kesatuan.
Lebih lanjut Pantanjali menjelaskan. Yama berarti menghindari kekerasan (Ahimsa), mantap dalam kebenaran (satya), mantap dalam kejujuran (asteya), Hidup dalam Tuhan (Brahmacharya), tidak tamak (Aparigraha). Dan, Niyama berarti menjaga kebersihan dan kesucian diri (sauca), merasa puas dengan apa adanya (samtosa), sederhana (tapah), mempelajari diri sendiri (swadaya), dan menyerahkan segalanya pada Tuhan (Iswara pranidhana).
Asana tidak hanya berarti sikap yang nyaman dalam postur-postur yoga, tapi pola hidup yang nyaman, yaitu pola hidup yang seimbang. Makan tidak berlebihan-puasa juga tidak berlebihan. Mencintai tidak berlebihan-membenci juga tidak berlebihan, dan seterusnya. Rasa nyaman ini harus permanen-tidak temporer.
Pranayama yaitu menyadari proses pernafasan. Menyadari proses pernafasan berarti menyadari tipisnya jarak antara kehidupan dan kematian. Bermula dari sini manusia akan mencapai tingkatan kasih tanpa pamrih. Tingkatan ini-lah yang membedakan antara manusia dengan hewan.
Pratyahara berarti menyadari pola-pola berpikir. Pola pikir terkendali maka kontrol diri (indra-indra) juga terkendali. Dengan demikian seseorang tidak akan tergoda oleh objek-objek duniawi. Peng-haram-an atas objek-objek dunia, seperti sex bebas, narkoba, dsb. Tidak akan banyak membantu. Justru, pelarangan tersebut seringkali membuat seseorang terobsesi. Ajaran yoga tidak mengharamkan sesuatu apa-pun, tapi menuntut pengendalian/pelepasan diri terhadap objek-objek duniawi tersebut. Demikian-lah yoga, menuntut pelepasan ego secara luas. Selama seseorang belum dapat mengendalikan dirinya, maka tidak dianjurkan melakukan yoga (jalan spiritual). Karena tujuan yoga adalah menenangkan danau pikiran manusia sehingga bayangan ilahi nampak terlihat dengan sangat jelas. Oleh sebab itu, supaya pikiran tidak kacau maka dibutuhkan niat yang kuat dalam melaksanakan yoga.
Dharana (konsentrasi), mencapai konsentrasi berarti seseorang telah mencapai ketenangan yang alami. Ketenangan yang permanen-bukan dibuat-buat. Pada bagian ini seseorang mencapai kedamaian Illahi sekaligus memancarkan cahaya ilahi pada lingkungannya. Tidak ada lagi gundah-gulana, sedih-gembira, baik-buruk, yang dapat mempengaruhinya.
Selanjutnya Dhyana (meditasi yang mendalam), menyadari sesuatu tanpa ada gangguan lagi.
Kemudian bagian terakhir Samadhi (tujuan akhir meditasi), kondisi ini tidak dapat lagi dijelaskan. Inilah pencerahan, tempat pertemuan antara kekasih dengan yang dikasihi, pertemuan antara hamba dengan Tuan, pertemuan antara Khalik dengan mahluk.
Demikian sekilas penjelasan tentang 8 bagian yoga yang diajarkan oleh Patanjali. Kedelapan bagian tersebut berkaitan-tidak bisa dipisahkan. Pelaksanaan dari 8 bagian tersebut itu-lah yang disebut yoga dalam arti yang sesungguhnya. Ini perlu dijelaskan karena bagi masyarakat Indonesia, yoga seringkali disalahartikan sebagai “akrobat” atau semacam “praktek-praktek klenik”, dan lain sebagainya..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar