PASUPATA DUALISME
Pasupata dualisme merupakan menafsirkan filosofis
dari konsep Veda tentang Rudra sebagai Pasupati. Dalam kenyataannya 2 dari 5
kategori awal diakui oleh system ini, yang dinyatakan oleh 2 buah kata yang
menyusun nama “Pasupati” dan 2 kategori pertama disebut “Pati” dan “Pasu” atau
Karana dan Karya. Roh-roh pribadi digambarkan berada dibawah pengendalian dan bergantung
pada Tuhan atau Pati. Kelihatannya teori metafisika dari Pasupata ada paling
awal yang didasarkan pada konsep penyebab tanpa sebab, diterima baik oleh Nyaya
maupun Vaisesika, karena menurut Haribadra Suri, Rsi Kanada adalah seorang
Pasupata dan Rsi Aksapada adalah seorang Saiva,dimana yang pertama lebih awal
daripada yang terakhir yang mengikutinya pandangan metafisika yang pertama.
Karena keterbatasan literature tentang Pasupata
Dualisme, maka kita tidak dapat mengetahui secara rinci tentang teori
metafisikanya, tetapi apabila kita mengambil secara bersama-sama apa yang kita
dapati tentang hal itu dalam ulasan Vedanta Sutra oleh Sankara dan
ulasan-ulasan sejenis dari Vacaspati Misra dan Anandagiri, kita akan
mendapatkan sedikit gambaran yang agak jelas tentang dasar dari Pasupata
Dualisme, yang dapat dinyatakan sebagai berikut :
1. Ia
mengakui Tuhan (Pati) hanya sebagai penyebab efisien saja dan juga menyatakan
keberadaan yang bebas dari penyebab material, seperti yang telah dinyatakan
diatas.
2. Ia
mengakui 5 kategori awal yaitu a. Penyebab (Karana), b. Akibat (Karya), c.
Penyatuan ( Yoga), d. Ritual (Vidhi), e. Pembebasan sebagai akhir dari segala
kedukaan (Duhkhanta). Kategori-kategori ini umum pada Lakulisa Pasupata, yang
berbeda dengan Pasupata karena yang pertama bersifat Dvaitadvaita, sedangkan
yang kedua adalah Dvaita (dualisme). Pandangan ini ditunjang oleh 2 pengulasan Saiva
tentang Vedanta Sutra yaitu Srikantha dari Sripati Pandita, yang keduanya
menyalahkan dualism murni dan menyatakan bahwa system yang dikritik oleh
Badarayana adalah system Saiva Dvaita.
3. Tampaknya
juga ia menempatkan kategori Karya dari Mahan menuju bumi, yang oleh Samkhya
diakui sebagai kategori yang tergantung dan kategori ini juga diakui oleh
Lakulisa Pasupata, tetapi sebagai bagian dari “Kala”, salah satu dari 3
kategori yang tergantung yaitu : Vidya, Kala, dan Pasu.
4. Tampaknya
ia mengakui Pradhana sebagai penyebab material, yang terpisah dari Tuhan (Pati)
sebagai penyebab efisien.
5. Ia
menerima roh-roh pribadi menjadi pribadi secara timbal balik dengan kedua
penyebab, baik penyebab efisien maupun penyebab material, pandangan mana telah
dipegang teguh oleh Vaisesika.
6. Tampaknya
ia mengakui bahwa Tuhan, dalam penciptaan dunia empiris yang beraneka warna
ini, dipengaruhi oleh Karma.
7. Ia
mengakui pembebasan ( moksa) tiada lebih dari akhir segala kesedihan dan kedua poin ini juga telah dipegang teguh
oleh Vaisesika.
Patanjali,
seorang yogi (praktisi yoga), menerangkan bahwa yoga memiliki 8 bagian yang
tidak terpisahkan, yaitu : Yama (mengendalikan diri), Niyama (ketaatan), Asana
(Sikap badan), Pranayama (pengaturan nafas), Pratyahara (Pengaturan diri/indra),
Dharana (Konsentrasi), Dhyana (Meditasi), dan Samadhi (Keseimbangan).
Bagian-bagian yoga tersebut tidak dapat dipisahkan, sebagaimana bagian tubuh
manusia yang juga tidak dapat dipisah-pisahkan. Pengaturan nafas tanpa
pengaturan diri, bukanlah Yoga, demikian seterusnya. Kedelapan bagian tersebut
adalah satu kesatuan.
Lebih
lanjut Pantanjali menjelaskan. Yama berarti menghindari kekerasan
(Ahimsa), mantap dalam kebenaran (satya), mantap dalam kejujuran (asteya),
Hidup dalam Tuhan (Brahmacharya), tidak tamak (Aparigraha). Dan, Niyama
berarti menjaga kebersihan dan kesucian diri (sauca), merasa puas dengan apa
adanya (samtosa), sederhana (tapah), mempelajari diri sendiri (swadaya), dan
menyerahkan segalanya pada Tuhan (Iswara pranidhana).
Asana
tidak hanya berarti sikap yang nyaman dalam postur-postur yoga, tapi pola hidup
yang nyaman, yaitu pola hidup yang seimbang. Makan tidak berlebihan-puasa juga
tidak berlebihan. Mencintai tidak berlebihan-membenci juga tidak berlebihan,
dan seterusnya. Rasa nyaman ini harus permanen-tidak temporer.
Pranayama
yaitu menyadari proses pernafasan. Menyadari proses pernafasan berarti
menyadari tipisnya jarak antara kehidupan dan kematian. Bermula dari sini
manusia akan mencapai tingkatan kasih tanpa pamrih. Tingkatan ini-lah yang
membedakan antara manusia dengan hewan.
Pratyahara
berarti menyadari pola-pola berpikir. Pola pikir terkendali maka kontrol diri
(indra-indra) juga terkendali. Dengan demikian seseorang tidak akan tergoda
oleh objek-objek duniawi. Peng-haram-an atas objek-objek dunia, seperti sex
bebas, narkoba, dsb. Tidak akan banyak membantu. Justru, pelarangan tersebut
seringkali membuat seseorang terobsesi. Ajaran yoga tidak mengharamkan sesuatu
apa-pun, tapi menuntut pengendalian/pelepasan diri terhadap objek-objek duniawi
tersebut. Demikian-lah yoga, menuntut pelepasan ego secara luas. Selama
seseorang belum dapat mengendalikan dirinya, maka tidak dianjurkan melakukan
yoga (jalan spiritual). Karena tujuan yoga adalah menenangkan danau pikiran
manusia sehingga bayangan ilahi nampak terlihat dengan sangat jelas. Oleh sebab
itu, supaya pikiran tidak kacau maka dibutuhkan niat yang kuat dalam
melaksanakan yoga.
Dharana
(konsentrasi), mencapai konsentrasi berarti seseorang telah mencapai ketenangan
yang alami. Ketenangan yang permanen-bukan dibuat-buat. Pada bagian ini
seseorang mencapai kedamaian Illahi sekaligus memancarkan cahaya ilahi pada
lingkungannya. Tidak ada lagi gundah-gulana, sedih-gembira, baik-buruk, yang
dapat mempengaruhinya.
Selanjutnya
Dhyana (meditasi yang mendalam), menyadari sesuatu tanpa ada gangguan
lagi.
Kemudian
bagian terakhir Samadhi (tujuan akhir meditasi), kondisi ini tidak dapat
lagi dijelaskan. Inilah pencerahan, tempat pertemuan antara kekasih dengan yang
dikasihi, pertemuan antara hamba dengan Tuan, pertemuan antara Khalik dengan
mahluk.
Demikian
sekilas penjelasan tentang 8 bagian yoga yang diajarkan oleh Patanjali.
Kedelapan bagian tersebut berkaitan-tidak bisa dipisahkan. Pelaksanaan dari 8
bagian tersebut itu-lah yang disebut yoga dalam arti yang sesungguhnya. Ini
perlu dijelaskan karena bagi masyarakat Indonesia, yoga seringkali
disalahartikan sebagai “akrobat” atau semacam “praktek-praktek klenik”, dan
lain sebagainya..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar