BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Dalam
kehidupan sehari-hari dimana kita hidup sebagai makhluk yang homo sosius. Homo
sosius disini yang artinya berarti ia tidak dapat hidup sendiri, ia selalu
bersama sama dengan orang lain. Manusia akan dapat hidup dengan sebaik-baiknya
dan dapat mempunyai arti apabila ia bisa hidup bersama-sama dalam masyarakat.
Tidak dapat dibayangkan adanya manusia yang hidup menyendiri tanpa berhubungan
dan bergaul dengan sesame manusia lainnya.
Hanya dengan hidup bersama manusia dapat berkembang wajar. Hal ini ternyata
sejak lahir sampai meninggal manusia memerlukan bantuan orang lain untuk
kesempurnaan hidupnya. Bantuan ini tidak
hanya kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan jasmani tetapi juga untuk kebutuhan
rohani.
Dalam
membina suatu kerukunan hubungan bermasyarakat dibutuhkan suatu bentuk
pengendalian diri dalam pergaulan hidup bersama yang disebut etika. Adapun
etika yang dibahas dalam beberapa kitab suci Agama Hindu. Disini agar lebih
jelas kami akan membahas mengenai etika Hindu dalam Sarasamuccaya, etika Hindu
dalam Slokantara dan etika Hindu dalam Nitisastra.
1.2 Rumusan
Masalah
Dari latar
belakang di atas dapat diambil beberapa rumusan masalah yaitu :
1.2.1
Bagaimana etika Hindu
menurut ajaran Sarasamuccaya?
1.2.2
Bagaimana etika Hindu menurut
ajaran Slokantara?
1.2.3
Bagaimana etika Hindu
menurut ajaran Nitisastra?
1.3 Tujuan
penulisan
1.3.1
Untuk mengetahui etika
Hindu yang ada dalam Sarasamuccaya.
1.3.2
Untuk mengetahui etika
Hindu yang ada dalam Slokantara.
1.3.3
Untuk mengetahui etika
Hindu yang ada dalam Nitisastra.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Etika
Hindu Menurut Ajaran Sarasamuccaya
2.1.1
Susunan dan Isi Kitab Sarasamuccaya
Kitab
Sarasamuccaya terdiri dari sebuah
pengantar pendek dan 517 sloka yang diterangkan dalam bahasa Jawa Kuna. Kitab
ini adalah kitab etika untuk pemeluk agama Hindu di Indonesia.
“
The Sarasamuccaya is the Gita of the Balinese Hindus,”
- Sarasamuccaya adalah Bhagavadgitanya
orang-orang Bali pemeluk agama Hindu.
Demikian
ucapan Raghu Vira M.A. PH.D. dalam bukunya Sarasamuccaya.
Benar juga ucapan ini karena isi dari Sarasamuccaya adalah buku pedoman
bertingkah laku yang baik di dalam kehidupan ini.
2.1.2
Kecenderungan-kecenderungan
Sifat Manusia
Kitab
ini pun mengajarkan bahwa manusia itu ada yang mempunyai kecenderungan baik,
ada yang buruk. Sifat-sifat itu dinyatakan dalam bentuk subha karma yaitu perbuatan baik dan asubha karma yaitu perbuatan buruk. Karena manusia ini adalah
makhluk yang mulia, makhluk berfikir maka ia mampu melepaskan dirinya dari
asubha karma dan masuk dalam subha karma. Hal ini dinyatakan dalam syair-syair
kitab Sarasamuccaya. Pada banyak
komentar dari sloka-sloka kitab Sarasamuccaya
ini orang-orang yang berbudi luhur disebut Sadhujana,
sang sajjana, sedangkan orang yang
bertabiat buruk disebut dursila,
durjana, dursila wwang papabhudhi. Orang sadhujana
adalah orang yang sabar, tidak kasar tidak memikirkan akan cacat cela orang.
Semua sifat-sifat kebajikan itu dapat kita pada ayat-ayat kitab Sarasamuccaya seperti dibawah ini.
Na
prhrsyati sammane nindito nanutapyate. Na kruddhan parusanyaha tamahuh
sadhulaksanam.
Kunang
laksana sang sadhu,
tan
agirang yang malem,
tan
alara yan ininda,
tan
kataman krodha,
pisaningun
ujarakena ng parusawacana,
langgeng
dhirahning manah nira.
(S.S.
306)
Terjemahan
:
Adapun
ciri-ciri sang sadhu adalah tidak gembira jika dipuji, tidak sedih jika dicela,
pun tidak kerasukan marah, tidak mungkin beliau mengucapkan kata-kata kasar,
sebaliknya selalu tetap teguh dan suci bersih pikiran beliau.
Na smarantyaparaddhani smaranti
sukrtanica,
Asambhinnaryamaryadah sadhavah purusot
tamah.
Lawan ta waneh, terangen-angen dosa ning
len, pisanungun ujarakenang parapawada, gunanya, mwang ulahnya, rahayu juga
kenget nira, tatan hana gantanira manasara sakeng sistacara apageh juga sira ri
maryadanira, mangkana laksana sang sadhu, sira purusotama ngaranira waneh.
(S.S.
307)
Terjemahan
:
Dan
lagi sang sadhu tidak memikirkan dosa
atau cacat orang lain, pun tidak akan mengeluarkan kata-kata apapun tentang
celaan atau teguran dari pihak lain, hanya kebajikan dan perbuatan baik pihak
lain saja dipikirkan beliau, dan sama
sekali tidak ada kemungkinan beliau akan menyimpang dari perilaku orang arif,
melainkan tetap teguh berpegang pada susila dan sopan santun. Demikianlah
laksana sang sadhu. Beliau disebut pula orang utama.
Yatha yatha prakstanam ksetranam
sasyasampadah,
Sakha phalabharena namrah
sadhustathatatha.
Paramarthanya, upasama ta pwa sang sadhu
ngaranira,
Tumukul dening kweh gunanira, mwang
wruhnira,
kadyangga ning pari,tumungkul dening
wwahnya,
mwang pang ning kayu, tumungkul de ning tob ning phalanya.
(S.S.308)
Terjemahan
:
Kesimpulannya,
sabar dan tenang pembawaan sang sadhu,
merunduk karena banyak kebajikan dan ilmunya,
sebagai halnya padi runduk karena beratnya buahnya dan dahan pohon kayu
itu runduk, disebabkan karena lebat buahnya.
Aryavrttamidam vrttamiti vijnaya sasvatam,
santah
Parartham, kurvana naveksante
pratikriyam.
Tatan pakanimittha hyunira ring
pratyupakara sang sajjana ar gawayaken ikang kapararthan, kunang wiwekanira,
prawrtti sang sadhu ta pwa iki, maryada sang mahapurusa, mangkana juga
wiwekanira, tan prakoseka ring phala.
(S.S.
313)
Terjemahan
:
Bukan
karena keinginanannya akan pembalasannya, sang utama budi mengusahakan
kesejahteraan orang lain, melainkan karena hal itu telah merupakan
keyakinannya. Pembawaan sang sadhu memang demikian. Itulah cirri orang yang
berjiwa besar. Demikianlah keyakinan beliau, tidak memandang akan buah
hasilnya.
Demikianlah sifat-sifat mulia
yang dimiliki sang sadhujana. Selanjutnya kita sajikan uraian sifat-sifat orang
papa budhi yang sudah tentu berlawanan dengan sifat-sifat sang sadhu budhi.
Sifat-sifat itu antara lain
adalah sifat ingin berbuat jahat, tidak kasihan kepada dirinya sendiri, bohong,
mebuat orang lain menderita, sombong, munafik, menipu dan sebagainya. Dibawah
ini ada beberapa ayat dalam kitab Sarasamuccaya
yang menguraikan sifat-sifat sang Durjana.
Khalah sarsapamatrani parachidrani
pasyati,
Atmano vilvamatrani pasyannapi na
pasyati
Lawan purihnikang durjana, yadyan sawiji
ning sasawi dosa sang sadhu, katon juga denya, denya, kunang yan dosanyawaknya,
yadyan sawwah ning wilwa towi katona ta de nya, tan tinom jugha ya.
(S.S.
341)
Terjemahan
:
Dan
tabiat orang yang jahat meskipun sebesar biji sawi dosa sang sadhu terlihat
olehnya. Akan tetapi mengenai noda dirinya sendiri, kendati sebesar buah maja
yang seharusnya terlihat olehnya, tidak tampak olehnya.
Abhivadya yatha vrddhan santo gacchanti
nirvrtim,
Tatha sajjanamakrusya murko bhavati
nirvrtah.
Lawan swabhawa ning durjana, ikang sang
sadhu, atyanta juga sukhaniran panambaha atwang adara ri sang wrddha pandita,
tatan mangkana ng durjana, wiparita kramanya, atyanta paritustanyan telah
maniraskarawamana angapahasa ri sang mahapurusa.
(S.S.
342)
Terjemahan
:
Demikianlah
perangai si durjana, sedangkan sang sadhu kaliwat senang hatinya untuk member
hormat dengan segala kerendahan hati serta dengan hikmat kepada sang pandita
yang arif bijaksana. Tidaklah demikian sang durjana, terbalik prilakunya. Ia
terlalu sangat puas hatinya setelah menista, berlaku kurang ajar dan mengejek
orang yang berjiwa besar.
Cadyamano pi papaya subhatma
nabhipadyate,
Varyamano pi papatma papebhyah
papamicchati.
Apan sang sadhu ngaranira, yadyapin
konen sira ring ulah salah, tan pangihidep juga sira, tan rengo-rengon, kunang
ikang wwang dusta, yadyapin uhutana towi ring ulah salah, inulahakennya juga.
(S.S.
348)
Terjemahan
:
Orang
yang disebut sadhu budi, biarpun diperintahkan untuk berbuat dosa, sekali-kali
beliau tidak akan menurut, dan tidak akan mentaati perintah itu. Akan tetapi
orang yang berhati jahat, meskipun ia dilarang agar tidak melakukan perbuatan
jahat namun dilakukan juga olehnya.
Demikianlah dalam ajaran etika
kita selalu menemukan satu pilihan diantara dua sifat baik dan buruk. Dan etika
selalu menunjukkan jalan untuk memilih sifat yang baik.
2.1.3
Etika Hindu menurut
ajaran Sarasamuccaya
Isi
pokok ajaran sarasamuccaya ini adalah ajaran etika. Berbagai suruhan, larangan
mengenai tingkah laku disajikan oleh kitab ini. Tentu saja semua ajaran ini
berlandaskan ajaran agama Hindu, ajaran untuk mencapai kelepasan dari belenggu
penderitan.
Kelahiran
ini adalah tangga untuk naik ke sorga. Karena itu kelahiran ini harus
diabadikan untuk meningkatkan diri dalam kebajikan supaya tidak jatuh ke
neraka. Caranya adalah dengan melakukan dharma.
Dalam
hal ini akan kami paparkan beberapa pokok ajaran kitab ini yang mengenai :
1) Catur Purusa Artha
2) Tri kaya
3)
Tentang pergaulan
4)
Hormat kepada orang
lain dan orang tua
5)
Ajaran tentang dasa yama dan dasa niyama.
Baik disini akan dijelaskan satu
persatu mengenai pokok ajaran kitab ini yaitu :
1) Catur Purusa Artha
Walaupun
kitab Sarasamuccaya tidak ada
menyebut nama catur purusa artha, tetapi perincian dari catur purusa artha itu yaitu dharma,
artha, kama dan moksa beberapa kali disebut dan diuraikan maknanya dalam
beberapa ayat. Hal ini misalnya dapat kita baca pada sloka 1 kitab ini sebagai berikut
:
Dharma
carthe ca kame ca mokse ca bharatarsabha,
Yadihasti
tadanyatra yannehasti na tat kvacit.
Terjemahan
:
Oh
engkau bentengnya keluarga Bhatara, dalam lapangan dharma, artha, kama dan
moksa, sebagaimana tertulis disini terdapat juga ditempat lain, dan apa yang
tidak tercantum disini tidak akan dijumpai ditempat lain.
Catur purusa artha artinya empat
tujuan hidup manusia. Memang hidup di dunia ini adalah untuk memenuhi kebutuhan
kama yaitu keinginan, hawa nafsu yang mendorong orang untuk berbuat sesuatu,
yang mendorong orang bergairah dan bergirang dalam hidup ini. Objek daripada
kama ini adalah artha yaitu benda-benda duniawi yang dapat memuaskan kama
sehingga menjadi orang nikmat merasakan hidup ini. Tetapi dalam memenuhi
tuntutan kama pada artha akan dapat membawa orang pada jurang kesengsaraan
apabila tidak atas dasar dharma yaitu kebajikan, kebenaran, peraturan-peraturan
yang mendukung orang untuk mendapatkan kebahagiaan. Maka itu dharmalah yang
harus menjadi pengendali dalam memenuhi tuntutan kama atas artha. Sloka 12
kitab Sarasamuccaya mengingatkan kita akan hal ini sebagai berikut :
Kamarthau
lipsamanastu dharmamevaditasearet,
Na
hi dharmadapetyarthah kamo vapi kadacana.
Yan
paramarthanya, yan artha kama sadhyan, dharma juga lekasakena rumuhuh, niyata
katemwanging artha kama menetan paramartha wi katemwa ning artha kama dening
anasar sakeng dharma.
Terjemahan
:
Pada
hakekatnya, jika artha dan kama dituntut, maka seharusnya dharma hendaknya
dilakukan lebih dulu. Tak dapat disangsikan lagi, pasti akan diperoleh artha
dan kama ini nanti. Tidak aka nada artinya, jika artha dan kama itu diperoleh
menyimpang dari dharma.
Dengan uraian di atas ini, maka
dharma mempunyai kedudukan yang paling penting dalam catur purusa artha, karena
dharmalah yang mengantar orang mendapatkan kebahagiaan dalam menuruti kama
menikmati artha di dunia ini. Karena itulah dharma amat dipuji-puji dalam kitab ini, dan orang terus menerus dihimbau
untuk menjadikan dharma pedoman hidupnya. Hal ini dinyatakan dalam sloka-sloka
berikut :
Dharma
eva plavo nanyah svargam samabhivanchatam,
Sa ca naurpwanijastatam jaladheh
paramicchatah.
Ikang dharma ngaranya, henu ning mara
ring swarga ika, kadi gati ning parahu, an henu ning banyaga nentas ing tasik.
(S.S.14)
Terjemahan
:
Yang
disebut dharma adalah merupakan jalan untuk pergi ke sorga, sebagai halnya
perahu yang merupakan alat bagi saudagar untuk mengarungi lautan.
Yathadityah samudyan vai tamah sarvam
vyapohati,
Evam kalyanamatistam sarvapapam
vyapohati.
Kadi karma sang hyang aditya, an wijil,
humilangaken peteng ning rat, mangkana tikang wwang mulahakening dharma, an
hilangakensalwir ing papa.
(S.S.16)
Terjemahan
:
Seperti
halnya matahari yang terbit melenyapkan dunia, demikianlah orang yang melakukan
dharma, memusnahkan segala macam dosa.
Tentu saja orang-orang yang
melanggar dharma, yang tidak mau menjadikan dharma
jalan hidupnya akan tidak mendapatkan kebahagiaan tetapi kesedihanlah yang akan
dialaminya. Orang yang demikian itu adalah orang yang jatuh dalam adharma prawrtti. Demikian penjelasan ayat 47
dari kitab Sarasamuccaya.
2)
Trikaya
Segala apa saja yang dilakukan
orang dapat berlangsung melalui trikaya, tiga anggota badan yaitu : Kaya, Wak dan manah. Kaya ialah anggota
badan, seperti tangan, kaki, punggung, mulut dan sebagainya. Sedangkan wak ialah kata-kata, dan manah adalah pikiran. Dengan tiga alat
inilah manusia dapat berbuat sesuatu, baik terhadap dirinya sendiri maupun
terhadap orang lain, dan lingkungannya.
Sebutan trikaya itu dalam
kitab Sarasamuccaya kita dapati dalam
ayat 157 sebagai berikut :
Adrohah
sarvabhutesu,
Kayena
manasa gira,
Anugrahasca
danam ca,
Silametadvidurbudhah.
Ikang
kapatyaning sarwabhawa, haywa jugenulahaken, makasadhanang trikaya, nang kaya,
wak manah, kunang prihen ya ring trikaya anugraha lawan dana juga, apan ya ika
sila ngaranya, ling sang pandita.
Terjemahan
:
Yang
membuat matinya segala makhluk hidup, sekali-kali jangan hendaknya dilakukan
dengan menggunakan trikaya, yaitu perbuatan dan pikiran. Adapun yang harus
diikhtiarkan dengan trikaya, hanyalah
pemberian dan sedekah saja, sebab itulah yang disebut sila, kata orang arif.
Tiga anggota badan itu
dapat digunakan untuk tujuan-tujuan yang buruk dan dapat pula digunakan untuk
tujuan-tujuan yang baik. Bila orang dapat menggunakan untuk tujuan-tujuan yang
baik, maka trikaya itu akan disebut trikaya parisud artinya tiga anggota badan
yang telah disucikan meliputi :
(1)
Kayika
Parisudha
Kayika parisudha
dapat kita rumuskan sebagai segala prilaku yang berhubungan dengan badan yang
telah disucikan. Dengan berbuat berarti kita telah membuat suatu karma yang
akan mementukan hidup kita pada masa-masa yang akan datang. Karena kita
mengharapkan hidup yang lebih baik pada hari yang akan datang, maka sekaranglah
waktunya kita menanamkan karma yang baik dengan menghindari perbuatan-perbuatan
yang buruk. Dalam hubungan ini kitab Sarasamuccaya,
ayat 76 menyebutkan demikian :
Pranatipatam stainyam ca,
Paradaranathapi va,
Trini papani kayena,
Sarvatah parivarjavet.
Nihan yang tan ulahakena, syamati mati,
mangahal ahal, siparadara, nahan tang telu tan ulahakena ring asing ring
parihasa, ring apatkala, ring pangipyan tuwi singgahana juga.
(S.S.76)
Terjemahan
:
Inilah
yang tidak patut dilakukan :
-
Membunuh
-
Mencuri
-
Berbuat zina
Ketiganya
janganlah hendaknya dilakukan terhadap siapapun baik secara berolok-olok, dalam
keadaan dirundung malang, dalam hayalan sekalipun, hendaknya dihindari semua
itu.
(2)
Wacika
Parisudha
Berkata
yang benar dan baik disebut orang wacika parisudha. Kata-kata dapat
mendatangkan untuk diri sendiri atau menarik simpati orang lain. Ia dapat
merupakan tirtha amrta yang sejuk nyaman, yang menghibur dan menghidupkan
orang. Tetapi ia juga menjadi racun yang menghancurkan, merusak jiwa dan raga
manusia.
Vaksayaka vadanannispatanti yairahatah
socati ratrayhani, parasya va marmasute
patanti tasmaddhiro navasrjet paresu.
Ikang ujar ahala tan pahilawan hru,
songkabnya sakatempuhan denya juga alara, resep ri hati, tatan keneng pangan
turu ring rahina wengi ikang wwang denya, matangnyat tan inujaraken ika de sang
dhira purusa, sang ahning maneb manahnira.
(S.S.20)
Terjemahan
:
Perkataan
yang mengandung maksud jahat tiada beda dengan anak panah yang dilepaskan.
Setiap yang ditempuhnya merasa sakit. Perkataan itu meresap ke dalam hati,
sehingga menyebabkan orang tidak bisa makan dan tidur pada siang dan malam
hari. Oleh sebab itu perkataan yang demikian tidak diucapkan oleh orang budiman
dan wira perkasa, pun pula oleh orang yang suci bersih hatinya.
Dalam kitab Sarasamuccaya ayat 75
menyebutkan empat hal yang tidak dilakukan dengan kata-kata. Empat hal itu
sebagai berikut :
Asatpralapam parusyam
Paisunyamanrtam tahta,
Catvari vaca rajendra,
Na jalpennanucintayet.
Nyang tanpa prawrttyaning wak, pat
kwehnya, pratyekanya ujar ahala, ujar apregas ujar pisuna, ujar mithya, nahan
tangpat sinanggahananing wak, tan ujarakena, tan angen-angenan kojaranya.
(S.S.75)
Terjemahan
:
Inilah
yang tidak patut timbul dari kata-kata, empat banyaknya yaitu :
-
Perkataan jahat
-
Perkataan kasar
-
Perkataan memfitnah
-
Perkataan bohong
Inilah
keempatnya harus disingkirkan dari perkataan jangan diucapkan jangan
dipikir-pikir akan diucapkannya.
(3)
Manacika
Parisudha
Pikiran
mendapat perhatian besar dalam ajaran
yoga, karena pikiranlah sumber dari
segala apa yang dilakukan orang, sumber segala apa yang dikatakan orang. Bila
pikiran menyuruh anggota badan diam, maka anggota badanpun diam, bila pikiran
menyuruh mulut tak berkata maka mulutpun diam. Pikiranlah yang menentukan
segala perbuatan orang. Hal ini dinyatakan dalam kitab Sarasamuccaya ayat 82
sebagai berikut :
Sarvam
pasyati caksusman
Manoyuktena
caksusa,
Manasi
vyakule jate
Pasyannapi
na pasyati.
Lawan
tattwa niking manah, nyang mata wuwusanta, nag mulat ring sarwa wastu, manah
juga sahaya ning mata nikan wulat, kunang yan wayakula manahny, tan ilu
sumahayang mata, mulata towi nikang wastu, tan katon juga ya de nika, apan
manah ikang wawarengo ngaranya hinganyan pradhanang manah kalinganika.
Terjemahan :
Dan lagi sifat
pikiran itu, bahwa mata dikatakan dapat melihat berbagai barang, tiada lain
hanya pikiran yang menyertai mata itu memandang.
Maka jika
pikiran bingung atau kacau, tidak turut menyertai mata sungguhpun memandang
pada suatu barang, tidak terlihat barang itu olehnya, sebab pikiran itulah
sebenarnya yang mengetahui. Sebab itu sesungguhnya pikiranlah yang memegang
peranan utama.
Dalam
kitab-kitab agama Hindu banyak sekali terdapat ajaran-ajaran yang membimbing
pikiran menjadi baik dan suci. Demikian pula halnya dalam kitab Sarasamuccaya
kita dapati banyak ajaran yang demikian. Khusus dalam uraian trikaya yang
meliputi dasakarma pathascaret yaitu sepuluh jalan yang patut dikerjakan, menyebutkan
tiga hal yang harus dipegang teguh dalam pikiran. Tiga hal itu seperti berikut
:
Anabhidyam
parasvesu
Sarvasatvesu
carusam,
Karmanam
phalamastiti
Trividham
manasa caret.
Prawrttyaning
manah rumuhun ajarakena, telu kwehnya, pratyekanya, si tan engine adenghya ri
drbyaning len, si tan krodha ring sarwa sattwa, si mamituhwa ri hana ning
karmaphala, nahan tang tiga ulahaning manah, kahrtaning indriya ika.
(S.S.74)
Terjemahan
:
Prilaku
pikiran terlebih dahulu akan dibicarakan tiga banyaknya, perinciannya ialah :
-
Tidak ingin, tidak iri
akan milik orang lain.
-
Kasih saying terhadap
semua makhluk .
-
Percaya akan adanya
karmaphala
Itulah
tiga prilakunya pikiran yang merupakan pengendalian pikiran.
3)
Hidup saling bantu
membantu dan menghormati
Sebagaimana
sudah kita maklumi manusia tidak dapat hidup sendiri. Ia selalu hidup bersama
orang lain, karena satu dengan yang lainnya saling bergantungan. Sebenarnya
setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan dari yang lain, baik berupa
harta benda ataupun kemampuan. Karena itu bagi yang lebih harus bersedia
menerima atau mendermakan kelebihannya kepada yang kurang dan yang kurang harus
bersedia menerima dari yang lebih. Demikian kitab Sarasamuccaya mengajarkan
kita supaya bersedia berdana karena sesungguhnya apa yang kita miliki adalah
juga untuk menbantu orang lain. Hal ini kita baca dalam kitab Sarasamuccaya
ayat 178 berikut ini :
Djanena
kin janna dadati nasnute balena kin yena ripun na badhate, srutena kin yena na,
dharma macaret kimatnayo na jitendriyo vasi.
Ndta
kari doning dhana, yang tan danakkena, tan tan bhutin, mangkanang kasaktin, tan
padan ika yan tan sadhana ning mangalahanang musuh, mangkanang aji, tan padon
ika, yan tan suluha ring dharmasadhana, mangkanang buddhi kaprajnana tan padon
ika yan tan pangalahakenendriya, tan pangawasakenang rajah tamah.
Terjemahan
:
Apa
gerangan gunanya kekayaan bila tidak untuk disedekahkan dan untuk dinikmati.
Demikian pula kesaktian, tidak ada gunanya jika bukan alat untuk mengalahkan
musuh. Demikian pula ajaran suci tidak ada gunanya bila tidak untuk suluh dalam
pelaksanaan dharma. Demikian pula budi yang arif bijaksana tidak ada gunanya
bila tidak untuk menaklukkan hawa nafsu, agar tidak dikuasai rajah tamas.
Demikianlah kitab Sarasamuccaya
mengajarkan bahwa yang patut diberi dana adalah
orang-orang yang berikut :
Caritraniyata
rajan
Ye
krsah krsavrttayah,
Arthinascopacchanti
Tesudattam
maha phalam.
Lwirning
yukti ikang wehana dana wwang suddhacara, wwang daridra, tan panemu ahara,
wwang mara angegong harep kuneng, ikang dana ring wwang mangkana agong
phalanika.
(S.S,187)
Terjemahan
:
Orang
yang diberikan dana, ialah orang yang berkelakuan baik, orang miskin, yang
tidak memperoleh makanan, orang-orang yang benar mengharapkan bantuan,
pemberian dana kepada orang yang demikian besar pahalanya.
Jadi dengan demikian hidup ini harus bantu membantu karena setiap
orang mempunyai kelemahan-kelemahan sendiri yang harus dibantu oleh orang lain.
Apalagi kalau kita renungkan bahwa sebagian besar kebutuhan hidup ini kita
dapati dari orang lain, seperti perabot rumah tangga, barang-barang dari besi,
makan, ilmu pengetahuan dan sebagainya. Dalam hidup bersama ini orang tidak
dibenarkan mementingkan diri sendiri dengan menginjak-injak, menindas yang
lain. Dalam hubungan ini kitab Sarasamuccaya ayat 63 menasehatkan demikian :
Arjavam
canrsamsyam ca
Damascendriyanigrahah,
Esa
sadharano dharmas
Caturpvarnye
‘bravinmanuh.
Nyang
ulah pasadharanan sang caturwarna, arjawa, si duga-duga bener, ansangsya, tan
nrsangsya, nrsangsya ngaraning atmasukhapara, tan aimbhawa ri lara ring len,
yawat mamuhara sukha ryawaknya, yatika nrsangsya ngaranya, gati ning tan
mangkana, anrsangsya ngaranika, dama, tumangguhana awaknya, indriyagraha, humrta indriya, nahan tang prawrtti pat
pasadharanan sang catur warna ling bhatara Manu.
Terjemahan
:
Inilah
prilaku keempat golongan yang patut dilaksanakan :
-
Arjawa yaitu jujur dan
terus terang.
-
Anrsangsya artinya
tidak nrsangsya.
Nrsangsya
artinya mementingkan diri sendiri, tidak menghiraukan kesusahan orang lain,
hanya mementingkan bagi dirinya. Itulah disebut nrsangsya. Tidak laku yang
demikian, anrsangsya namanya.
-
Dama artinya dapat
menasehati diri sendiri.
-
Indriyanigraha artinya
mengekang hawa nafsu.
Keempat
prilaku itulah yang harus dibinasahkan oleh sang catur warna. Demikianlah sabda
bhatara Manu.
Dengan
anrsangsya itu berarti pula kita harus hormat menghormati satu sama lain karena
setiap orang mempunyai harga diri yang
harus dihormati. Diantara yang dihormati dalam pergaulan hidup bersama para
guru dan ibu bapa mendapat penghormatan
yang istimewa. Menurut kitab Sarasamuccaya ayat 242 bapak adalah :
-
Sarirakrt
yaitu yang mengadakan tubuh.
-
Pranadata
yaitu yang memberikan hidup.
-
Annadata
yaitu yang memberi makan.
Sedangkan ibu adalah
sumber kasih sayang yang tiada taranya. Tidak ada kasih sayang yang melebihi
kasih ibu. Dari ibulah mengalir kasih
pertama meresapi tubuh kita. Pengertian yang demikian dinyatakan oleh ayat 244
kitab Sarasamuccaya. Maka itu hanya baktilah balasan kita kepada mereka itu
bukan khianat, karena barang siapa berkhianat kepada mereka akan memikul dosa
yang luar biasa. Kitab Sarasamuccaya ayat 234 mengatakan demikian :
Upadhyayam
pitaram
Mataram
ca ye’ bhidruhyanti manasa karmana va,
Tesam
papam bhrunahatyavisistam nanyastasmat papa krccastiloke.
Hana
pwa drohaka ring pangajyanya, ring bapebu kunang, maka karanang kaya, wak,
manah, ikang mangkana kramanya, agong papanika, lwih sakeng papa ning bhrunaha
ngaraning rurugarbha, sangksepanya atyanta papanika.
Terjamahan :
Jika ada orang
yang berkhianat kepada guru, terhadap ibu dan bapa, dengan jalan perbuatan,
perkataan dan pikiran, orang yang demikian perilakunya amat besarlah dosanya,
lebih besar daripada dosa bhrunaha, bhrunaha artinya menggugurkan kandungan.
Pendeknya, amat besarlah dosanya.
4)
Dasa
Yama Niyama Brata dan Rwa Wlas Brata Ning Brahmana
Bila
dalam astangga yoga terdapat ajaran panca Yama niyama, maka dalam kitab
Sarasamuccaya terdapatlah ajaran dasa yama niyama brata. Ajaran ini adalah
ajaran etika yang amat luhur. Adapun dasa yama brata perinciannya seperti
dibawah ini :
Anrsangsya
ksama satyamahimsa dama arjavam,
Pritih prasado madhuryam mardavam ca
yama dasa.
Nyang
brata ikang inaranan yama, pratyekanya nihan, sapuluh, kwehnya, anrsangsya,
ksama, satya, ahingsa, dama, arjawa, priti, prasada, madhurya, mardawa, nahan
pratyekanya sapuluh, anrsangsya, si harimbawa, tan swartha kewala, ksama si
kelan panastis, satya, si tan mrsawada, ahigsa, manuke sarwa, bhawa, dama, si
upasama wruh mituturi manahnya, arjawa, si duga-duga bener, priti, si gong
karuna, prasada heningning manah, madhurya, manisning wulat lawan wuwus,
mardawa, pos ning manah.
(S.S.259)
Terjemahan :
Inilah
brata yang disebut yama, perinciannya demikian :
-
Anrsangsya
yaitu harimbawa, tidak mementingkan
diri sendiri saja.
-
Ksama
yaitu tahan akan panas dan dingin.
-
Satya
yaitu tidak berdusta.
-
Ahingsa
yaitu membahagiakan semua makhluk.
-
Dama yaitu sabar,
dapat menasehati dirinya sendiri.
-
Arjawa,
tulus hati, berterus terang.
-
Priti,
sangat welas asih.
-
Prasada,
jernih hatinya.
-
Madhurya,
manisnya pandangan dan manisnya perkataan.
-
Mardawa,
lembut hatinya.
Demikian perincian dasa yama brata.
Selanjutnya akan dijelaskan mengenai dasa niyama brata yang ajarannya lebih
banyak ajaran adhyatmika, ajaran yang mengarah kepada diri sendiri. Adapun
perinciannya sebagai berikut :
Danamijya tapo dhyanam
svadhyayopasthanigrahah vratopavasamaunam ca snanam ca niyama dasa. Nyang brata
sapuluh kwehnya, ikang niyama ngaranya, pratyekanya, dana, ijya, tapa, dhyana,
swadhyaya, upasthanigraha, brata, upawasa, mauna, snana, nahan ta awak ning
niyama, dana weweh, annadanadi, ijya, dewapuja, pitrapujadi, tapa,
kayasangsosana, kasatan ikang sarira, bhusarya, jalatyagadi, dhyana, ikang
siwasmarana, swadhyaya, wedabhyasa, upasthanigraha, kahrta ning upastha, brata,
annawarjadi, mauna, wacangyama, kahrtaning ujar, haywakecek kuneng, snana,
trisangdhyasewana, madhyusa ring kala ning sandhya.
(S.S.260)
Terjemahan :
Inilah brata
sepuluh banyaknya yang disebut niyama perinciaannya :
-
Dana
yaitu pemberian, pemberian makanan, minuman dan lain-lainnya.
-
Ijya
yaitu pujaan kepada Dewa, kepada leluhur dan lain-lainnya, pujaan sejenis itu.
-
Tapa
yaitu pengekangan nafsu jasmaniah, seluruh badan kering berbaring di atas
tanah, pantang air dan sebagainya.
-
Dhyana
yaitu terfokus merenungkan Bhatara Siwa.
-
Swadhyaya
yaitu mempelajari Weda.
-
Upasthanigraha
yaitu pengekangan upastha, pengekangan nafsu kelamin.
-
Brata
yaitu pengekangan nafsu terhadap makanan dan minuman.
-
Mona
yaitu wacang yama artinya menahan, tidak mengucapkan kata-kata yaitu tidak
berkata sama sekali, tidak bersuara.
-
Snana
yaitu trisandhya sewana mengikuti
trisandhya, mandi membersihkan diri pada waktu pagi, tengah hari dan petang
hari.
Demikian perincian dasa niyama
brata. Dalam uraian-uraiannya satu persatu upawasa tidak disebut, tetapi
maksudnya telah dicakup dalam uraian brata walaupun tidak tepat sekali.
Sebenarnya upawasa berarti puasa yaitu tidak makan pada waktu tertentu, untuk
kesucian rohani. Sejajar dengan ajaran yama niyama brata ini adalah ajaran
tentang rwa wlas brata sang Brahmana. Bahkan beberapa perinciannya ada yang
sama dengan perincian yama niyama tersebut.
Tentu saja yang dapat melaksanakan brata ini dapat disebut berpribadi
brahmana, karena prilaku itulah yang
menentukan nilai pribadi seseorang. Untuk adanya gambaran yang lebih jelas kami
sajikan kutipan berikut ini :
Dharmasca
satyam ca tapo damasca vimatsaritvam hristitiksanasuya,
Yajnasca
danam ca dhrtih ksama ca mahavratani dvadasavai brahmanasya.
Nyang brata sang brahmana, rwa welas
kwehnya, pratyekanya, dharma, satya, tapa, dama wimatsaritwa, hrih titiksa
anasuya, yajna, dana, dhrti, ksama nahan pratyekanyan rwa welas, dharma, satya
pagwanya, tapa ngaranya sarira sangsona, kapanasaning sarira, piharan,
kurangana wisaya, dama ngaranya upasama de ning tuturnya, wimatsaritwa ngaranya
haywa irsya, hrih ngaran ing irang, wruha ring irang wih, titiksa, ngaraning
haywa gong krodha, anasuya ngaraning haywa dosagrahi yajna magelem amuja, dana
maweha danapunya, dhrti ngaraning maneb, ahning, ksama ngaraning kelan, nahan
sang brahmana.
(S.S.57)
Terjemahan :
Inilah brata
sang brahmana, dua belas banyaknya perinciaannya :
-
Dharma,
dari satya lah sumbernya.
-
Tapa
artinya sarira sangsona yaitu dapat mengendalikan jasmani dan mengurangi nafsu.
-
Dama
yaitu tenang dan sabar, tahu menasehati dirinya sendiri.
-
Wimatsaritwa
artinya tidak dengki iri hati.
-
Hrih
berarti malu, mempunyai rasa malu.
-
Titiksa
berarti jangan sangat gusar.
-
Anasuya
berarti tidak berbuat dosa.
-
Yajna
artinya mempunyai kemauan mengadakan pujian.
-
Dana
adalah memberikan sedekah.
-
Dhrti
adalah penenangan dan pensucian pikiran.
-
Ksama
artinya tahan uji.
Demikian
brata sang Brahmana.
2.2 Etika Hindu Menurut
Ajaran Slokantara
2.2.1
Susunan dan isi kitab
Slokantara
Susunan
kitab ini serupa dengan kitab Wrhaspatitattwa. Syair-syairnya dalam bahasa
Sansekerta yang jumlahnya 84 buah disertakan salinannya dalam bahasa Jawa Kuno.
Namun
isinya berbedalah dengan kitab Wrhaspatitattwa itu. Bila kitab Wrhaspatitattwa
pokoknya adalah Siva Tattwa, maka Slokantara menguraikan tentang etika, sasana,
dana punya dan niti. Banyak juga uraiannya menerangkan tentang ajaran
karmaphala.
2.2.2
Kecenderungan-kecenderungan
sifat Manusia
Dalam
kitab Slokantara tidak ada uraian tentang tri guna atau suri asuri sampat
sebagai kecenderungan-kecenderungan sifat manusia. Yang ada ialah lukisan sifat
orang baik budi dan buruk budi. Dengan lukisan itu orang mendapat pedoman untuk
membedakan lebih jauh akan perbedaan sifat orang baik budi dan buruk budi.
Syair Slokantara yang melukiskan sifat-sifat baik itu ialah syair 31 sebagai
berikut :
Nirdhano’pi
narah sadhuh,
Karma
nidyam na karayet,
Sardulaschinnapado’pi,
Trnam
jatu na bhaksayet.
Kalinganya,
sang sadhu jana, sira sang wwang uttama janma yadyapi sira nirdhana, kasyasiha
tuwi, agaweha ta sira salah karya, salah idep, taha tan mangkana sang wwang
utama janma, iwa padanya nihan, kadyangga ning sardula ngaranya macan, tugel
jarijinya, pisaningu ika mamangana dukut, nora juga mangkana prawrttinya, apan
enget ing pinanganya, mangkana ling ning aji.
(S.t.31)
Terjemahan
:
Demikianlah
bahwa sang sadhujana, yaitu orang yang lahir dari keluarga baik-baik, meskipun
ia amat miskin menyedihkan, tetapi ia itu tidak akan mau mengajarkan dan
memikirkan yang jahat-jahat. Hal ini dapat dibandingkan seekor harimau,
walaupun cakarnya dipotong, tidak mungkin ia akan mau makan rumput, karena ia
akan ingat apa yang harus dimakannya atas dasar kodratnya.
Demikian
ajaran kitab suci.
Lebih
lanjut akan dijelaskan mengenai baik dari orang-orang yang baik budi.
Sifat-sifat itu adalah sifat-sifat mulia, sifat-sifat yang ideal yang
sedapat-dapatnya harus dikerjakan orang. Kitab-kitab itu kita dapati dalam
kitab Slokantara sebagai berikut :
Nihan
ambek nawa nga. Narapwa sira siddha rahayu, lwirnya, andrayuga, gunabhiksama
(sadhuniragraha), widagdha-prasama, wirotasadharana krtarajahita,
tyaga-prasama, suralaksana, surapratyayana, sanga kwehnya, andrayuga nga.
Prajna ning dharma tutur, watek angaji, widagdha wruh ring hala hayu,
gunabhiksama, nga. Sadhu sira ring arta ning gusti, lumanglang sira ring
paeweh, upeksa sira rorowang, anut sakrama ning wwang akweh, enak de nira krta
rahayu, sadhuniragrhana nga, sadhu sira ning wawadon, tan cekap sira ring
sama-sama wwang, widagdho prasanna nga, tan mamangan sira ingaturan sabda tan
yogya, tan sungsut purik sira, prasanna buddhi nira enak, wirotasadharana nga,
wani tan karahatan (tan?) asor ing ujar, mrih ring niti, krtajahita nga, wani
asor, wruh ring kutaramanawadi, tyaga prasanna nga, tan panengguh anghel, yan
ingutus de ning gusti, sura laksana nga, tan anengguh wedi enggal tan asowe,
sura pratyayana nga, bhaktyagusti, sura laksana ring paprangan, tumangga ring
pakeweh, rumaksa ring gusti, iti ambek nawa sanga, kayatnakna kramanya
sowang-sowang, rahayu dahat yan kalaksanan.
(S.t.84)
Terjemahan :
Inilah
perilaku yang dinamai nawasanga yang dapat menyebabkan hidup kita menjadi
bahagia yaitu :
-
Andrayuga
artinya menguasai ajaran-ajaran dharma, segala macam pengetahuan, bijaksana dan
tahu akan apa yang baik dan apa yang buruk.
-
Gunabhiksana
artinya jujur akan harta kepunyaan atasannya, selalu dapat mengatasi segala
kesukaran, tidak melibatkan diri pada pertentangan yang timbul, sering sehaluan
dengan kehendak umum dan berbahagia jika melakukan kebajikan.
-
Sadhuniragraha
artinya jujur terhadap wanita dan tidak menyakiti sesama manusia.
-
Widagdha
prasanna artinya tidak termakan oleh
ucapan-ucapan tidak benar yang ditunjukkan kepadanya dan tidak merasa marah
atau sedih, selalu bahagia dan tenang pikirannya.
-
Wiratasadharana
artinya keberaniannya tidak ada bandingannya, tidak bisa kalah dalam perdebatan
dan selalu memegang keadilan hokum.
-
Krtarajahita
artinya tidak segan-segan mengalah (kalau merasa salah) dan memahami benar isi
kitab hokum kutaramanawa dan lain-lainnya.
-
Tyagaprasanna
artinya tidak mengenal lelah jika sedang melakukan tugas yang dibebankan oleh
atasannya.
-
Surakaksana
artinya tidak mengenal rasa takut, selalu cepat dan tidak lamban dalam
bertindak.
-
Surapratyayana
artinya hormat dan setia pada atasan, tidak pernah mundur dari medan perang,
tidak lari dari kesukaran, tetap waspada dalam menjawab atasan.
Selain
sifat-sifat baik, Kitab Slokantara juga menyajikan lukisan sifat-sifat orang
buruk budi yang tidak patut dituruti. Lukisan itu adalah sebagai berikut :
Mukham
padmadalakaram vacascandanasitalam,
Hrdayam
kartrasamyuktamityetad dhurtalaksanam.
Kalinganya,
hana ta wwang mukhanya sumekar, kadi somya ning tarate mekar, wuwusnya matis,
kadi serep ning candana linepaken ing sarira anis-nisi, amanis-manisi ring
wwang kasyasih, ndan sinapa wani kang hati ring jro kadi kartra kartra ngaranya
gunting, kadi landep ing pamangan ing gunting alanya, tibra ning irsya
kumrenges kanugel griwa ning sadhu kasyasih, dahat anglarani, padanya kadi
madhu mawor lawan racun, tuhun ing amanis-hala nikamatyani, yeka
dustalaksanangaranya, saksat pawak ing sisa kalakuta, yeka rupa ning dasar ing
kawah sangksepanya, tan ulaha sang jnama paromottama ika, ling sang hyang
sastragama
(S.t.34)
Terjemahan :
Ada orang yang
air mukanya manis menarik dan seperti tenangnya bunga teratai yang sedang
mekar, kata-katanya sejuk seperti meresapnya sejuk air cendana yang dilepaskan
pada badan. Ia manis dan penyayang tampaknya terhadap orang sengsara dan
kemalangan. Walaupun tampaknya ia dapat dianggap sebagai pahlawan, namun
sebenarnya, hatinya setajam gunting. Dalam mendekati ia itu sangat menakutkan.
Dengan gigi dikeratnya ia patahlah leher orang-orang yang baik budi yang patut
disayangi itu. Ia menyebabkan penderitaan yang maha hebat, yaitu sama dengan
madu dicampur racun. Sebenarnya kemanisannya itulah kejahatan yang tidak kenal
ampun. Sebenarnya ia racun terjahat dalam bentuk manusia, penjelmaan dasar
neraka.
Kesimpulannya
orang yang lahirnya mulia janganlah berbuat semacam ini. Inilah nasehat suci.
Demikianlah
gambaran sifat-sifat orang buruk budi. Masih ada gambaran sifat-sifat buruk
yang lebih panjang lebar dari uraian diatas ini yaitu pada ayat 84 kitab
Slokatara yaitu sebagai berikut :
Nihan
ambek dasa malanya. Tan yogya ulahakena lwirnya, tandri, kleda, leja, kuhaka,
metraya, megata, ragastri, kotila, bhaksa-bhuwana, kimburu, tandri nga. Wwang
sungkanan, leson balebeh sampeneh adoh ing rahayu, anghing hala juga
kaharepnya, kleda nga, ambek angelem-elem, merangan maring harep, tan katekan
pinaksanya, leja nga. Ambek tamah, agong trsna, agong lulut asih, maring hala,
kutila nga. Parachidra, pesta peda ring kawelas asih, pramada pracale, norana
wwang den keringi, kuhaka nga. Ambek krodha. Agong runtik, capala sabda bangga
poraka, metraya nga. Bisagawe ujar mahala, sikara dumikara, wiwiki wiweka, sapa
kadi sira, botarsa rabi ning arabi, tan hana ulahnya rahayu, yan metu
sabdanyaarum amanis anghing hala ri dalem, tan papilih buddhi cawuh, kala ri
hatinya purikan, raga stri nga. Bahud lanji, wawadonen, rambang panon, bhaksa
bhuwana andenda sasama ning tumuwuh, akirya ring wwang sadhu, ardeng pangan
inum, hangkara sabda prengkang, kimburu nga. Anghing gawene akirya-kirya drewe
ning wwang sadhu, tan papilih, nora kadang sanak mitra, nyata memet drewe ning
sang wiku. Mangkana karma ning dasa mala. Tan rahayu.
(S.t.84)
Terjemahan :
Inilah
sifat-sifat dasa mala yang tidak layak dilakukan, yaitu :
-
Tandri
yaitu orang yang malas, lemah, suka makan dan tidur saja, enggan bekerja, tidak
tulus dan hanya ingin melakukan kejahatan.
-
Kleda
artinya suka menunda-nunda, pikiran buntu dan tidak mengerti apa sebenarnya
maksud-maksud orang lain.
-
Leja
artinya pikiran selalu diliputi kegelapan bernafsu besar. Ingin segala dan
gembira jika melakukan kejahatan.
-
Kutila
artinya menyakiti orang lain, menyiksa
dan menyakiti orang miskin dan malang, pemabuk dan penipu. Tidak seorangpun
berkawan baik dengannya.
-
Kuhaka
artinya orang pemarah, selalu mencari-cari kesalahan orang lain, berkata asal
berkata dan sangat keras kepala.
-
Metraya
artinya orang yang hanya dapat berkata kasar dan suka menyakiti dan menyiksa
orang lain, sombong pada diri sendiri, “siapa dapat menyamai aku” pikirnya. Ia
suka mengganggu dan melarikan istri orang lain.
-
Megata
artinya tidak ada tingkahnya yang dapat
dipuji. Meskipun ia berkata atau kata-katanya manis dan merendah, tetapi dibalik
lidahnya ada maksud jahat. Ia tidak merasakan kejelekannya, berbuat jahat,
menjauhi susila, ia kejam.
-
Ragastri
artinya suka memperkosa perempuan baik-baik dan memandang mereka dengan mata
penuh nafsu.
-
Bhaksa
bhuwana artinya orang yang suka membuat orang lain
melarat. Ia menipu orang jujur. Ia berpoya-poya dan berpesta-pesta melewati
batas. Ia sombong. Kata-katanya selalu menyakiti telinga.
-
Kimburu
artinya orang yang menipu kepunyaan
orang jujur. Ia tidak peduli apa mangsanya itu keluarga, saudara atau kawan. Ia tidak segan mencoba mencuri milik para
pendeta. Inilah tingkah orang yang melakukan kesepuluh dosa itu. Ini tidak
bagus.
Demikian
gambaran kecenderungan-kecenderungan sifat baik dan buruk dalam Slokantara.
2.2.3
Etika Hindu menurut
Slokantara
Dalam
ajaran etika dalam uraian ini disajikan uraian tentang :
1) Satya dan Dharma
Sejak jaman Veda ajaran satya ini
sudah dijunjung tinggi dan kemudian
berkembang dalam ajaran-ajaran yang
menyusul kemudian. Dalam kitab Slokantara Satya dikaitkan dengan ajaran dharma.
Satya adalah Dharmama yaitu dharma yang termulia. Tak ada yang lebih mulia dari
pada satya dalam prilaku sebagai manusia.
Dalam kitab Slokantara sloka 1 kita baca tentang satya ini seperti
dibawah ini :
Brahmano va
manusyanamadityo vapi tejasam,
Siro va sarwa
gatresu dharmesu satyamuttaman.
Terjemahan
:
Sebagai
halnya golongan Brahmana diantara manusia, sebagai halnya matahari diantara
sumber cahaya, sebagai halnya kepala diantara anggota badan, diantara dharma,
kebenaranlah yang paling mulia.
Barang siapa yang melanggar satya
berarti melanggar dharma, karena satya adalah dharma. Tentu saja orang yang
melanggar satya akan tidak menemukan kerahayuan karena kodratnya sudah
demikian. Karena itu kitab Slokantara
berulang-ulang menyebut dan menyuruh kita melakukan dharma karena hanya dengan
demikianlah orang dapat diseberangkan dari kesengsaraan menuju kebahagiaan.
Itulah sebab kitab Slokantara menyuruh : “Kerjakanlah dharma”
Anityam yauvanam
rupam anityo drawya samcayah,
Anityah priya
samyogastasmad dharma samacaret.
Kalinganya,
ikang kayowanan mwang rupa, tan lana jatinya, ikang kasugihan samuha ning
drwya, tan lanai ka mwah ikang wwang amangan aturu lawan rabinya tan lanai ka,
matangnyan ulahakna dharma juga, tan angalah-alaha samaning dadi janma, wenang
matakwan salwir ing sinangguh dharma sasana ri sang pandita marapwan tan anemu
papa, mangkana karma ning dadi janma.
(S.t.9)
Terjemahan
:
Adapun
keremajaan dan wajah yang tampan tidak kekal itu, sebenarnya. Kekayaan, semua
hak milik tidak kekal itu dan orang yang makan dan tidur bersama istripun tidak
kekal keadaannya. Oleh karena itu dharmalah yang pertama-tama harus diusahakan
dan diperbuat. Sungguh tidak ada cacatnya menjadi manusia kalau senang
menanyakan segala apa yang dinamakan dharma sasana pada sang pandita agar
supaya tidak menemui beraka.
Demikian
sepatutnya hal ikhwal menjadi manusia.
2)
Catur Paramita
Catur
paramita itu adalah ajaran tentang cinta kasih kepada semua makhluk. Kitab
Sanghyang Kamahayanikan menyajikan catur paramita, versi lain dari ajaran tat
twam asi. Kami sajikan catur paramita seperti dibawah ini :
Catur paramita ngaranya :
Metri, karuna, mudita, upeksa.
(S.K.68)
Terjemahan
:
Catur
paramita namanya :
-
Metri
,
-
Karuna,
-
Mudita,
-
Upeksa.
Metri
ngaranya parahitakakrtwa, akara ning jnana sang satwa wisesa. Sang satwa wisesa
ngaranya : sang tumaki-taki sat paramita, mwang catur paramita, sira ta satwa
wisesa ngaranira. Akara ning jnana nira gumawe haywa ning para. Para ngaranya :
sarbwa, stwa, kanisthamadhyamottama, ikang sih ning para tan phalapeksa, ya ta
metri ngaranya.
Terjemahan
:
Metri
namanya : parahitakakrtwa, bentuk kesadaran sang satwa wisesa. Sang sattwa
wisesa namanya ialah orang-orang yang benar menekuni sat paramita dan catur
paramita, ia itulah sattwa wisesa namanya. Bentuk kesadarannya ialah
mengusahakan kerahayuan para. Para namanya ialah semua makhluk yang rendah,
sedang dan utama. Kasih sayang kepada semua makhluk tanpa mengindahkan kasih, disebut metri.
Karuna
ngaranya : paradubkhawiyogecca, akara ning jnana.
Sang
satwa wisesa ahyun hilangani dukha ning sarbwa satwa,
Terjemahan
:
Karuna
namanya ialah paraduhkhawigecca, yaitu bentuk kesadaran sang satwa wisesa yang
menghendaki lenyapnya kesadaran semua makhluk.
Mudita
ngaranya : parahitatustih satwawisesasya jnanasyakatah, inak ng akara ni jnana
sang satwa wisesa, telas pagawayan ira metri karuna, mudita ngaranya.
Terjemahan
:
Mudita
namanya : parahitatustih sattva wisesasya karah ialah rasa senangnya batin sang
satwa wisesa karena bahagianya semua makhluk sesudah melakukan metri, karuna.
Itulah mudita namanya.
Upeksa
ngaranya : labhanapeksa satwawisesasya, jnanasyakarah akara ni jnana sang satwa
wisesa tanpa upeksa labha ngaranya : tan
wawarengo ni jnana sang satwa wisesa ring welas, pujastuti gawayaken ikang
metri karuna mudita ring satwa, makanimitta katonan I duhka ning satwa, yogya
pagawayana upeksa.
Terjemahan
:
Upeksa
namanya : labhanapeksa satwawisesasya jnanasyakarah, ialah bentuk kesadaran
batin sang satwa wisesa yang tidak mementingkan hasil. Tanpa upeksa labha
namanya ialah kesadaran batin sang satwa wisesa yang tidak menghiraukan akan
balasan, pujian-pujian, apalagi harta benda. Beliau mengerjakan metri, karuna,
mudita pada semua makhluk, yang menyebabkan tampaknya kesengsaraan semua
makhluk maka patut pula upeksa supaya dikerjakan.
3)
Sapta Timira
Apabila
rasa aku berkuasa atas diri orang maka ia dapat menjadi takabur, congkak lupa
daratan. Rasa aku yang tak terkendali membawa orang pada kehinaan, kerendahan
budi, karena bentuk penampilannya adalah bentuk congkak, tidak hormat kepada
sesame , mementingkan diri sendiri, tidak tahu tenggang rasa dan sebagainya.
Slokantara menyebutkan ada tiga sumber kemabukan yaitu : minuman keras,
kepandaian dan kekayaan. Hal ini disebutkan dalam sloka 21 seperti berikut :
Sura
saraswati laksmi,
Ityata
madakaranam,
Mada
yanti na cetamsi,
Sa
eva puroso matah.
Kalinganya,
ikang amuraha wero ring dadi wwang, tiga lwirnya, ndya ta, sura ngaranya twak,
saraswati ngaranira sanghyang aji, laksmi ngaran ira kasugihan, mas pirak, ika
ta karana ning wero munggwing citta, kunang yan hana wwang tan kataman wero
dening twak, de ning bisanyangaji,
dening kasugihan mas piraknya, yeka purusa ngaranya, yan hana wwang mangkana,
byakta kinahyunaning rat, ling sang hyang aji.
(S.t.21)
Terjemahan
:
Keterangannya,
yang menyebabkan orang menjadi mabuk, tiga macamnya yaitu :
-
Sura
yaitu tuak,
-
Saraswati
yaitu pengetahuan,
-
Laksmi
yaitu kekayaan, seperti mas dan perak.
Itulah
yang menyebabkan mabuk pikiran orang. Bila ada orang yang tidak kena mabuk
karena tuak, karena pengetahuan, karena kekayaan mas perak, maka ia disebut
purusa, manusia sejati. Bila ada orang yang demikin itu, benar-benar ia akan
dicintai oleh masyarakat.
Jadi bukan saja
tuak atau minuman semacam itu yang menyebabkan orang mabuk, namun juga
pengetahuan dan kekayaan dapat menyeret orang memasuki dunia mabuk, sehingga
lupa akan diri.
4)
Sangsarga
Selain
sebagai makhluk individu, manusia itu adalah juga makhluk berteman, didalam
hidup berteman itu terjadilah interaksi antara seseorang dengan seseorang,
antara seseorang dengan kelompok. Interaksi itu dapat membentuk pribadi
seseorang, disamping pembawaan lahirnya. Selain itu suasana lingkungan juga
dapat membentuk pribadi seseorang. Suasana lingkungan dapat membentuk pribadi
yang baik tetapi juga dapat mendorong orang-orang terperosok jatuh ke dasar
kehinaan. Disini kitab Slokantara memberi contoh mengenai pengaruh lingkungan
terhadap kehidupan, akan dijelaskan sebagai berikut :
Gavasananam
sa girah sronoti
Aha
tu rajan muninam sronomi,
Pratyaksametad
bhavatasi drstam,
Samsargaja
dosaguna bhavanti.
Kalinganya,
yan hana wwang masangsarga lawan wwang nica, niyata nika katularan budhi
durjana nica, mangkana yan asangsarga lawan ikang wwang sadhu, katularan buddhi
sadhu, drstopamanyatah, kadyangga nikang atat rwang siki, mangaran si Gawaksa
mwang si Giwaksa, iakng asiki inalap ing taha buru, iningu nika, ikang asiki,
inalap de sang pandita, iningu nira, karhancit hana ta sira ratu maburu-buru,
kasasar ta sira prihawak, kawawa marery umah ning tuha buru, kahanan ikang atat
si Girika, mojar tekang atat ring sang prabhu, lingnya, ndah mah tamah, siwak kapalanya,
mangkana ta wuwus nikang atat, karengo de sang prabhu, alayu ta sira rumengo
wuwusnya, ri wekasan ta sira, kawawa mareng patapan sang pandita, ri kahanan
ikang atat si Gawaksa, dingaryan ta rahadyan sanghulun kasepera ring patapan,
araryan ta laki, alungguha ring widig anar, manginanga wwah apiji, mwang sere
anar, apuh mentah, yapwan anghel rahadyan sanghulun, masamwa ‘sri maharaja
irikang wulakan, mangka ling nikang atat ri sira, kascaryan ta manah nira sang
prabhu, rumengwaken ujar ikang atat, ri wekasan ta sang prabhu, matakwan ri
sang pandita, nikang atat iningunira, mojar ta sang pandita, yan kawana de ning
sangsarga nika, sangksepa nika sang sadhujana, haywa sira tan pamilipi
sangsarga nira, ikang sayogyamuwuhana guna ri sira, haywa sira masangsarga
lawan ikang wwang durjana, apan amawa mareng kawah ling sang hyang aji.
(S.t.45)
Terjemahan
:
Jika
ada orang bersahabat dengan orang yang rendah budinya tentulah orang itu akan
kena pengaruh budi yang rendah dan jahat. Demikian pula jika bersahabat dengan
orang yang baik budi akan kena pengaruh budi baik. Contohnya seperti halnya dua
ekor burung atat yang bernama si Gawaksa dan si Giwika, yang satu ditangkap
oleh seorang pemburu dan dipelihara, dan seekor lagi ditangkap oleh seorang
pendeta dan dipeliharanya. Pada suatu hari ada seorang raja berburu,
tersesatlah beliau seorang diri, terlunta-lunta hingga sampailah beliau dirumah
seorang pemburu, tempatnya burung atat si Girika. Berkatalah burung atat itu
kepada sang prabhu, katanya : “ah itu dia, makan, belah kepalanya”. Demikianlah
kata burung atat itu, terdengarlah oleh sang prabhu, larilah beliau itu, sampai
dipertapaan sang pendeta, tempatnya burung atat si Gawaksa. Berkatalah burung
itu, katanya : “Duhai, bahagialah tuanku raja! Sayang tuanku terlunta-lunta
sampai dipertapaan ini, silahkan
istirahat dan duduk dibalai-balai yang
baru itu, sambil makan buah ampiji,
sirih muda, kapur mentah. Bila tuanku letih, silahkan tuanku mandi
dikolam itu” Demikianlah kata burung atat itu kepada baginda. Heranlah hati
baginda raja mendengar kata-kata burung atat itu. Pada akhirnya baginda raja
bertanya kepada sang pendeta, tentang burung atat yang dipeliharanya itu.
Menjawablah sang pendeta : “Sesungguhnya hal itu disebabkan oleh karena
persahabata, kesimpulannya bagi orang yang baikbudi janganlah ia tidak memilih
sahabat, pilihlah yang dapat menambah kebijaksanaan janganlah ia bersahabat
dengan orang jahat, sebab orang yang akan mengantar ke neraka. Demikianlah
ajaran agama menyebutkan.
2.3 Etika Hindu dalam
Nitisastra
Selain sebagai ilmu politik, sesungguhnya
Niti Sastra lebih banyak mengajarkan ilmu pengetahuan tentang etika, moralitas
serta budi pekerti, tata pergaulan hidup dengan semua makhluk dan bagaimana
memusatkan perhatian atau pelayanan dan bhakti kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Hal ini boleh jadi karena Maharesi Canakya disamping menulis buku Niti Sastra
yang berisi ajaran tentang etika dan moralitas, juga menulis buku Artha Sastra
yang berisi ajaran mengenai ilmu politik dan pemerintahan. Dalam kamus pun Niti
Sastra lebih didahulukan pengertiannya sebagai ilmu etika, moralitas dan sopan
santun, meski pada akhirnya diartikan juga sebagai ilmu politik. Niti Sastra
dengan kata Niti memang berarti to lead, memimpin, membimbing, mendidik orang
bagaimana bergaul dan bertindak serta bagaimana mengembangkan cinta kasih dan
bhakti kepada Tuhan. Dalam hal ini orang dibimbing kearah kebaikan, kejalan
terang, kearah cinta bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa (geogle, 3/7/2012,
13:19).
Dibawah ini akan
dijelaskan mengenai etika berguru
sebagai berikut :
Canakya Nitisastra, Adhyaya V. Sloka 1:
" Guru Agnir Dvijatinam,
Varnanam Brahmana Guruh,
Patireva Guruh Strinam,
Sarvasya Bhayagato Guruh".
Terjemahan.
"Dewa Agni adalah Guru bagi para
Dwijati (Sang Sadaka), Varna Brahmana adalah Guru bagi Varna
Ksatria, Waisya dan Sudra, Guru bagi seorang istri adalah suami, dan
seorang tamu adalah Guru bagi semuanya".
Sloka
Canakya Nitisastra ini merupakan sebuah pedoman bagaimana etika berguru,
ajaran bhakti, sehingga terjadi sebuah tatanan kehidupan yang
harmonis, etika sosial dengan saling menghargai satu sama yang lain dan oleh Catur
Varna bukan justru dijadikan sebagai stratifikasi sosial untuk
mempertahankan status Co. Tetapi intisari pesan dari Sloka ini adalah
ada pada baris pertama dan terakhir bahwa sesungguhnya semua harus berguru
kepada Agni (Tuhan) dan semua harus berguru kepada Tamu. Kata Tamu
ini adalah spirit yang ada diluar diri manusia, siapa spirit itu ? yaitu
seluruh sekalian alam (Tuhan) (geogle, 3/7/2012, 13:20).
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari
penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa banyak Etika Hindu yang
tersirat dalam kitab seperti dalam :
1. Sarasamuccaya
Ajaran etika dalam Sarasamuccaya
menguraikan tentang Catur Purusa Artha, Tri
kaya, Tentang pergaulan, Hormat kepada orang lain dan orang tua, Ajaran
tentang dasa yama dan dasa niyama.
2. Slokantara
Ajaran
Etika dalam Slokantara menguraikan tentang satya dan dharma, catur Paramita,
sapta timira, dan sangsarga.
3. Nitisastra
Selain sebagai ilmu politik, sesungguhnya
Niti Sastra lebih banyak mengajarkan ilmu pengetahuan tentang etika, moralitas
serta budi pekerti, tata pergaulan hidup dengan semua makhluk dan bagaimana
memusatkan perhatian atau pelayanan dan bhakti kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Adapun etika berguru seperti tersirat di bawah ini
Canakya Nitisastra, Adhyaya V. Sloka 1:
" Guru Agnir Dvijatinam,
Varnanam Brahmana Guruh,
Patireva Guruh Strinam,
Sarvasya Bhayagato Guruh".
Terjemahan.
"Dewa Agni adalah Guru bagi para Dwijati
(Sang Sadaka), Varna Brahmana adalah Guru bagi Varna Ksatria,
Waisya dan Sudra, Guru bagi seorang istri adalah suami, dan seorang
tamu adalah Guru bagi semuanya".